“...Meunyoe
mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh
meugah keu lon... ( Kalau masih ada rumah
warga kampung yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya )”.
–Abdullah Syafie-
Letusan
senjata mengoyak hening Subuh di areal persawahan Alue Mon, Cubo, Kecamatan
Bandar Dua, Pidie. Subuh itu, 22 Januari 2002, Teungku Abdullah Syafie dan
pengawalnya turun ke Alue Mon. Rupanya, pergerakan sang Panglima Prang AGAM itu
tercium pasukan TNI yang sedang mengintai.
Perang
pun meletus. Laga ‘timah panas’ dari moncong senjata AK kontra SS1 dan M16
membahana memecah sunyi. Auuu... Jala menjerit. Kakinya kena tembak. Jala
menangis. Kombatan GAM dari Panteu Breuh, Desa Abah Lueng ini terus saja
merintih, menahan rasa sakit.
Almarhum Abdullah
Syafie
Jala adalah nama panggilan untuk Jalaluddin, pengawal Tengku Abdullah Syafi’ei, akrab disapa Teungku Lah. Pertempuran antara pasukan pengawal Teungku Lah versus pasukan TNI dari Ton-2 Kompi Yonif Linud 330 yang dipimpin Serka I Ketut Muliastra semakin sengit.
Teungku
Lah mengeluarkan peluru yang bersarang di kaki Jala. Lalu, Teungku Lah
membubuhkan ie babah (air dari mulut) pada luka kaki Jala. “Bek moe lee,” kata
Teungku Lah pada Jala. Jala merasakan kondisinya mulai membaik. Ia kembali
menembak, membantu rekannya membalas gempuran pasukan pemerintah.
Tak
lama berselang, tiba-tiba Teungku Lah kena tembak. Jala yang menempel Teungku
Lah mencoba membantu Panglima Komando Pusat Teuntra Neugara Atjeh ini. Jala
ingin memapah Teungku Lah untuk ke luar dari arena kontak tembak.
“Bek (jangan),” Teungku Lah
melarang. “Nyoe ka troh nyang lon lakee, ka troh
watee nyang lon preh-preh (kini sudah tiba
waktunya yang saya tunggu-tunggu)”.
Dalam
kondisi sekarat, Teungku Lah memerintahkan Jala segera lari, menyelamatkan diri.
Jala menolak, ia tidak ingin meninggalkan panglimanya. Teungku Lah kembali
memerintahkan Jala untuk kabur. Jala akhirnya menurut, lari dari medan tempur.
“Saat
lari, Jala menemukan sebuah sumur. Dia masuk ke sumur itu, lalu menutup sumur
dengan tumpukan jerami,”
kata Puteh Binti Abbas,73 tahun, ketika ditemui The Atjeh Post di Desa Blang
Sukon, Kemukiman Cubo, Kamis 1 September 2011.
Puteh
Abbas, dipanggil Nek Teh adalah mertua Teungku Lah. Ia mendengar cerita itu
langsung dari mulut Jala tak lama setelah kejadian itu. Jala selamat setelah
masuk ke sumur. Sedangkan Teungku Lah, meninggal di tempat. Dari foto yang
diperlihat pasukan TNI setelah peristiwa itu, Teungku Lah tewas dengan luka
menganga di dada.
“Anak
saya, Fatimah (istri Teungku Lah)
yang sedang hamil tujuh bulan, bersama para pengawal Teungku Lah, juga
tertembak dalam kejadian itu, mereka meninggal. Hanya dua orang yang selamat,
salah satunya, Jala,”
kata Nek Teh.
Usman
Basyah, warga Desa Blang Sukon memperoleh informasi yang sama tentang
kronologis meninggalnya Teungku Lah seperti yang diceritakan Nek Teh. “Teungku
Lah, Fatimah, Muhammad dan Teungku Daud dimakamkan berdampingan. Yang lainnya (juga pengawal Teungku
Lah) dikebumikan di kampung kelahirannya
masing-masing,”
katanya.
Makam
Teungku Lah, Fatimah, Muhammad dan Tgk Daud berada di belakang rumah Tgk Lah.
Saat ini ditempati Nek Teh, di Desa Blang Sukon. Makam tersebut sedang dipugar
atas inisiatif Bupati Aceh Jaya Ir. Azhar Abdurahman, juga mantan kombatan GAM.
Saat
Lebaran seperti sekarang, makam Teungku Lah ramai dikunjungi warga. Ada yang
sekedar menuntaskan rasa penasaran, ada juga yang peulheueh kaoy atau melepas
hajat.
***
Ziarah ke Makam Teungku Lah
Makam
Teungku Abdullah Syafie dijaga sendirian oleh perempuan paruh baya berusia 73
tahun. Perempuan tua itu terbungkuk-bungku menyapu halaman lantai sebuah balai
yang terletak tepat di belakang rumahnya. Posisi rumahnya tak jauh dari
meunasah Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.
Puteh
Binti Abbas, demikian nama perempuan 73 tahun itu. Ia biasa dipanggil Nek Teh.
Dialah mertua almarhum Teungku Abdullah Syafi’ei, Panglima AGAM yang akrab
disapa Tgk Lah. “Selama ini, Nek Teh sendirian yang
merawat makam Teungku Lah,” kata Usman Basyah, 35 tahun, warga
Desa Blang Sukon kepada The Atjeh Post, Kamis 1 September 2011.
Nek
Teh mulai membentangkan tikar di balai beratap seng. “Balai
ini dulunya berada di sana,” kata Nek Teh sembari menunjuk ke
arah dekat empat makam yang berdampingan. Ketika makam mulai dipugar, balai pun
harus pindah tempat.
Makam
tersebut adalah makam Teungku Lah, istrinya, Fatimah, dan makam Muhammad Bin
Ishak serta Teungku Muhammad Daud Bin Hasyim, keduanya pengawal Teungku Lah. “Beliau-beliau
itu meninggal dalam kontak tembak di Alue Mon, kawasan pertanian padi,” kata Usman Basyah.
Nek Teh mengangguk. Alue Mon, kata Usman, juga berada dalam Kemukiman Cubo.
Usman
Basyah bilang, selain Muhammad dan Teungku Daud, ada tiga anggota GAM lainnya,
meninggal dalam kejadian yang sama pada hari Selasa. “Tiga
anggota GAM itu dikubur di kampung kelahirannya masing-masing,” kata Usman. Nek
Teh kembali mengangguk. “Hanya dua pengawal Teungku Lah yang
selamat dalam insiden itu,” katanya.
Usman
tak ingat kapan persisnya pertistiwa itu terjadi. Namun, dari catatan yang ada,
Teungku Lah bersama istri dan para pengawalnya meninggal dalam pertempuran pada
Selasa 22 Januari 2002.
Tepat
di ujung makam Teungku Lah, tampak sebuah guci kecil berselimut jaring warna
ungu. “Dulu makam ini hanya dipagari dengan
kayu setinggi leher orang dewasa. Itupun dibuat atas permintaan saya supaya
tidak masuk hewan mengotori makam,” kata Nek Teh.
“Pagar
makam Teungku Lah, dulunya sangat memprihatinkan, sama sekali tidak layak,” sambung Usman.
Pagar
makam itu, kata Usman, akhirnya dirobohkan setelah datang mantan kombatan yang
saat ini menjadi Bupati Aceh Jaya. Dia adalah Azhar Abdurrahman. “Beliau
(Azhar Abdurrahman)
menangis saat melihat kondisi makam Teungku Lah,” kata Usman. Nek
Teh mendukung penjelasan Usman.
Azhar
Abdurrahman bukan sekadar menangis. Sang Bupati Aceh Jaya itu berinisiatif
memugar makam panglimanya dengan bangunan yang lebih layak. “Awalnya,
rencana Pak Bupati Azhar itu mendapat penolakan dari pihak GAM wilayah Pidie.
Alasan mereka, biar orang di daerah ini (Pidie-Pidie Jaya)
yang memugar makam Tgk Lah,” kata Nek Teh. Giliran Usman yang
mengangguk.
“Lalu,
anggota GAM dari Matang Glumpang Dua Bireuen (daerah kelahiran
Teungku Lah) yang datang bersama Pak Bupati Azhar
langsung menyatakan dengan tegas, biar Azhar yang memugar. Sebab sudah sekian
lama tidak ada yang memberi perhatian untuk makam Teungku Lah,” tambah Nek Teh.
Pada
Juni 2011, Bupati Azhar Abdurrahman merealisasikan rencananya itu. Sekarang,
makam Teungku Lah sedang dipugar. Tiang beton berdiri kokoh menopang kerangka
atap. Luas bangunan tersebut 8 x 12 meter. “Mulai
dibangun sekitar sebulan lalu,” kata Nek Teh, diiyakan Usman.
Sebelah
timur bangunan makam Teungku Lah, ada balai. Di belakang balai terdapat
hamparan sawah. Sebelah barat makam tampak rumah-rumah warga. Di bagian utara,
ada kebun kakao. Sedangkan sebelah selatan makam, rumah almarhum Teungku Lah yang
saat ini ditempati Nek Teh.
Tepat
di samping kanan depan bangunan makam, terpampang papan informasi. Tertulis di
papan itu, “Kru Seumangat Ateuh Pembangunan Makam
Al Syahid”.
Di bawah kalimat itu ada gambar Teungku Lah yang memakai seragam loreng lengkap
dengan baret hijau. Di bawah gambar tersebut, tertulis, “Panglima
Prang Acheh Tgk Abdullah Syafi’ei”.
* * *
Menolak Dibangun Rumah Mewah
Alm. Abdullah Syafie
Teungku
Lah telah tiada. Sembilan tahun berlalu. Namun karakter sosok Panglima Angkatan
GAM kelahiran Matang Glumpang Dua, Bireuen itu masih melekat erat dalam ingatan
warga Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.
Desa
Blang Sukon berjarak sekitar tujuh kilometer dari Jalan Medan-Banda Aceh,
kawasan Keude Paru, Kecamatan Bandar Baru. Saat ini jalan penghubung Keude Paru
ke Desa Blang Sukon telah beraspal. Suasana kawasan perbukitan itu teduh,
nyaman. Pepohonan di pekarangan rumah warga tampak rindang.
Sebagian
rumah berkonstruksi permanen. Dari bangunannya bisa dipastikan rumah-rumah itu
belum lama dibangun. Sisanya, masih rumah-rumah berkonstruksi kayu, peninggalan
masa lalu, termasuk rumah almarhum Teungku Lah.
“Suatu
waktu, saat Teungku Lah masih hidup, pernah ada yang minta untuk membangun
rumah beliau, rumah besar. Tapi Teungku Lah menolak,” kata Usman Basyah.
Kata
Usman, ketika itu Teungku Lah dengan tegas menyatakan, “Meunyoe
mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh
meugah keu lon (kalau masih ada rumah warga desa yang tidak layak huni,
jangan bangun rumah megah untuk saya)”.
Makanya, Usman melanjutkan, sampai Teungku Lah meninggal, rumahnya masih berkonstruksi alakadar. Jauh dari kesan mewah.
Semasa
memimpin perang gerilya, Teungku Lah juga banyak menerima kedatangan
pihak-pihak yang membawa uang berlimpah. Teungku Lah langsung
bertanya, “Uang itu untuk siapa”. Yang membawa uang
menjawab, “Uang untuk nanggroe”.
Mendengar
itu, Teungku Lah menyatakan, “Kalau untuk nanggroe (biaya perjuangan GAM) jangan
kasih ke saya, serahkan kepada yang berhak pegang uang itu”.
“Begitulah
sifat Teungku Lah, beliau tidak mau menerima yang bukan haknya,” kata Usman Basyah.
Nek Teh membenarkan.
Usman
Basyah bilang, “Meunye mantong na droe geuh Teungku
Lah, mungken Aceh uroe nyoe ji-oh leubeh jroh (kalau masih ada
Teungku Lah, mungkin Aceh hari ini jauh lebih baik)”.
Dalam
pandangan Usman Basyah, Nek Teh dan warga lainnya, Teungku Lah betul-betul
seorang panglima, pemimpin yang memberi contoh teladan kepada pasukannya. Juga
sangat peduli dengan nasib masyarakat miskin.
Tak
heran, banyak kalangan di Aceh merindukan sosok pemimpin seperti Teungku Lah.
Bahkan teramat rindu.[]
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar