"...Idiologi apa pun di luar Pancasila, jika diterap-kan di Indonesia akan sangat berbahaya bagi keutuhan dan eksistensi negara. Oleh sebab itu, jangan lengah, jangan terpesona daya tarik yang memukau, jangan tergiur oleh ajakan yang meng-himbau, jangan terpengaruh bisikan janji atau pancingan-pancingan yang menggairahkan selera, yang dapat memalingkan kesadaran akan kepri-badian Pancasila dan pandangan hidup bangsa Indonesia".
Ungkapan
yang dilontarkan Amir Mahmud, sebagaimana tersebut di atas, dapat
dipandang mewakili pandangan pemerintah Pancasila, yang disadari ataupun
tidak telah menempatkan Pancasila sebagai benda keramat. Atas dasar itu
pula, maka selama pemerintahan orla maupun orba, terdapat beberapa hal
yang “diharamkan” untuk dikritik, yaitu: Tidak boleh mengkritik
Pancasila dan UUD 45, tidak boleh mengkritik kebijaksanaan peme-rintah,
tidak boleh mengkritik dwi fungsi ABRI, dan tidak boleh mengungkapkan
kesalahan pegawai pemerintah. Siapa pun yang melanggar rambu-rambu ini,
pelakunya akan berhadapan dengan alat negara dan dituduh melanggar
undang-undang anti subversi.
Soekarno
yang dikenal masyarakat, sebagai penggagas Pancasila, dan kemudian
menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Dan juga Soeharto yang
menjadi arsitek Orde Baru, adalah orang-orang yang mengganggap dirinya
sebagai pengawal setia Pancasila. Dari kedua mantan presiden RI ini,
kita ingin memperoleh potret yang jelas tentang hakekat Pancasila dalam
penerapan-nya di tanah air. Di sini kita akan mencoba menyoroti kedua
tokoh tersebut dalam membuat kebijakan mereka yang didasarkan pada
Pancasila, terhadap umat Islam di Aceh khususnya, dan kaum muslimin di
seluruh Indonesia pada umumnya.
Untuk menyoroti hal tersebut, di bawah ini, kami kutipkan tulisan Al-Chaedar dalam bukunya Aceh Bersimbah Darah,
khususnya mengenai bagaimana penerapan Pancasila serta akibat-akibat
yang ditimbulkannya, baik di masa orla, orba maupun sekarang ini.
Pancasila di Masa Orde Lama
Pada masa Orde Lama muncul di Aceh apa yang terkenal dengan peristiwa Pulot-Cot Jeumpa bulan
Maret 1954, sehingga peristiwa ini pun disebut peristiwa Mar Bulan
Maret bagi orang Aceh, tidaklah sesuci megah dan agungnya peringatan
peristiwa 11 Maret 1966 dalam kerangka pikir Orde Baru, karena kekejaman
tentara Republik di bulan itu telah demikian traumatis bagi rakyat
Aceh. Dalam peristiwa Pulot-Cot Jeumpa
ini, berkaitan dengan Darul Islam (1953-1964) di Aceh, tentara Nasional
Indonesia dengan brutal membantai anak-anak bayi, wanita dan
orang-orang tua yang sudah uzur.
Angkatan
perang Republik ini memang terlihat begitu kuat dan perkasanya di
hadapan “musuh-musuh” hamba la’eh (kaum lemah) di Aceh ini. Di headline
Surat kabar “Peristiwa” yang terbit di Koetaradja (Kini Banda Aceh)
memuat berita tragis tentang pembantaian manusia secara keji dan tak
berperikemanusiaan: “99 orang penduduk di daerah Pulot Cot Jeumpa (Aceh Besar) yang tidak berdosa dibantai oleh alat negara.
Berita
yang dikutip oleh beberapa harian di Jakarta, serta menimbulkan
beberapa atmosfir kesedihan masyarakat Aceh di Jakarta, serta
menimbulkan beberapa pertanyaan. Apakah benar, alat negara membantai
rakyatnya sendiri, lebih-lebih rakyat yang tidak berdosa? Apakah mungkin
ada kekejaman yang demikian biadab terjadi di Tanah air ini? Tetapi
bagaimanapun pemberon-takan yang terjadi di Aceh, pada hakekatnya adalah
suatu “peperangan” antara alat negara sebagai kekuatan yang sah melawan
gerombolan pem-berontak. Dalam setiap peperangan apa saja bisa terjadi.
Tidak mustahil ayah membunuh anaknya, demikian juga sebaliknya.
Betapa
terkejutnya dan prihatinnya orang-orang Aceh di Jakarta, demikian juga
di tempat-tempat lain mendengar berita pemberontakan di Aceh bulan
September 1953, kurang lebih enam bulan sebelum berlalu hampir dapat
dilihat sebagai suatu unjuk rasa politik dengan memakai cara
seccesionist movement, tetapi peristiwa Pulot-Cot Jeumpa
telah merupakan pembunuhan dengan sengaja dan meriah terhadap rakyat
yang lemah oleh sebagian alat negara yang tidak bertanggung jawab.
Sudah
barang tentu pemerintah pada waktu itu dibawah Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo (dari Partai Nasional Indonesia/PNI) membantah keras
bahwa alat negara telah melakukan pembunuhan massal seperti diberitakan
oleh sementara surat kabar baik yang terbit di daerah maupun yang di
Jakarta. Apakah yang sebenarnya yang telah terjadi di tempat yang
dinamakan Pulot Cot Jeumpa.
Dua desa kecil dalam kabupaten Aceh Besar, di daerah kecamatan Lho’ Nga
kurang lebih 15 km dari ibu kota propinsi Aceh Koetaraja. Desa itu
didiami hampir 100% para nelayan di tepi pantai samudera Indonesia yang
indah. Peristiwanya dikisahkan sebagai berikut.
Pada
suatu hari di bulan Maret 1954 dalam rangka operasi militer mengejar
pemberontak, sebuah iring-iringan truk militer melewati desa kecil dan
guyub tersebut. Sesampainya di sebuah jembatan yang terletak di kampung Pulot,
secara mendadak iring-iringan militer itu dihadang oleh gerombolan
pemberontak. Tembak-menembak terjadi antara militer dengan pemberontak.
Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak, sedang gerombolan
pemberontak melarikan diri ke hutan melalui kedua kampung yang namanya
menjadi tenar itu. Sudah barang tentu militer tidak bisa tinggal diam
menghadapi hadangan itu. Mereka segera meminta tambahan bantuan tenaga
dari Koetaraja.
Hari ini juga diadakan operasi besar-besaran dalam kampung Pulot dan Cot Jeumpa,
dalam rangka mengejar pemberontak yang diduga keras bersembunyi di
sekitar kampung tersebut. Di sini mulainya tragedi itu. Rakyat dari
kedua kampung itu tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan,
ke mana larinya pemberontak yang menghadang tadi. Semua mereka mejawab
tidak tahu. Jawaban-jawaban yang kurang mem-bantu itu, membuat suasana
menjadi panik.
Batalyon
142 lantas mengamuk dan secara membabi buta memuntahkan peluru
senjatanya ke arah rakyat, sasaran tak berdosa itu. Akibatnya 99 orang
rakyat sipil meninggal dunia. Tidaklah terlalu salah jika banyak orang
berkesimpulan bahwa Tentara Nasional Indonesia hanya bertujuan membunuh
rakyat semata, bukan melindunginya. Apalagi dengan berada di bawah
kepemimpinan Jendral-jendral non muslim, tujuan itu semakin jelas:
Pemberangusan embrio muslim di mana pun diseluruh Indonesia.
Serangan
terhadap muslim di Indonesia memang menyedihkan, tidak hanya cukup
dengan serangan-serangan ideologis, tapi juga serangan-serangan fisik.
Leher orang-orang Muslim dianggapnya lebih murah ketimbang leher seekor
kambing sehingga dapat dengan leluasanya kaum Muslimin dimana pun
digorok hidup-hidup, sembari menitipkan pesan bahwa si mati adalah GPK
atau pemberontak. Di Aceh kebutuhan yang hampir terlupakan dalam adu
kekuatan antara pasukan pemerintah dan Darul Islam kembali menarik
perhatian dunia luar ketika sebuah surat kabar setempat, Peristiwa,
menulis kepala berita “Darah membanjiri tanah Rencong” pada awal maret.
Surat
kabar itu memberitakan hampir seratus orang penduduk desa di kabupaten
Aceh Besar dibantai oleh tentara dalam dua insiden pada akhir pebruari;
kejadian ini sebagai peristiwa Pulot-Cot Jeumpa.
Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 26 pebruari ketika satu peleton
pasukan yang kalap dari Batalyon 142 (dari Sumatera Barat) secara
semena-mesa menembak mati duapuluh lima petani di Cot Jeumpa, sebuah
kampung dekat Koetaraja. Kejadian ini diikuti oleh kekejaman lainnya dua
hari kemudian di sebuah yang berdekatan, Pulot,
di mana anggota Batalyon yang sama membantai enam puluh empat nelayan,
yang berusia sebelas sampai seratus tahun, dan melukai lima orang
lainnya.
Surat
kabar ini juga mem-beritakan bahwa dalam dua peristiwa tersebut tentara
memasuki dua kampung itu dan mengum-pulkan semua pria dari rumah-rumah
atau tempat kerja mereka dan menembak mereka tanpa selidik terlebih
dahulu, sementara jalan raya ditutup bagi lalu lintas. Mereka yang
luka-luka atau yang tidak berada di desa ketika pembantaian itu
berlangsung menyembunyikan diri dan melapor kejadian itu kepala surat
kabar tersebut. Bersamaan dengan itu muncul teror yang mengancam dari
tentara. Kenyataan itu telah dipahami secara salah bahwa pembantaian
merupakan tindakan balas dendam atau serangan Darul Islam terhadap suatu
unit tentara dari Batalyon 142 beberapa hari sebelumnya di dekat kedua
kampung tersebut.
Dalam
serangan itu lima belas tentara yang berasal dari Sumatera Barat telah
terbunuh. Dendam terhadap serangan itu menyebabkan sebuah unit lain dari
Batalyon tersebut, dibawah pimpinan Letnan Munir Zein, mengumpulkan
semua pria yang ada di dalam kedua kampung itu dan membunuh mereka.
Mengingat kekejaman pasukan dari Sumatera Barat dan Tapanuli dalam
operasi-operasi mereka di Aceh, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita
untuk meragukan terjadinya pembantaian. Banyak anggota dari unit-unit
Sumatera Barat terlibat dalam segala macam kekejaman, mulai dari
pemerkosaan, ancaman, perampasan, judi, penyiksaan, sampai pembunuhan.
Seakan-akan
menonjolkan superio-ritas etnis mereka, dalam setiap kesempatan
anggota-anggota pasukan tersebut membanggakan diri kepada penduduk desa
“Ini anak Padang”. Agaknya hal ini mengungkapkan antagonisme antara
etnis di antara suku Minangkabau dan Aceh, di mana rakyat Aceh, sebagai
akibat pengalaman sejarah, merasa diri lebih unggul atas suku
Minangkabau yang pernah takluk pada mereka di abad-abad sebelumnya.
Sebenarnya, ini hanyalah strategi militer yang menganut sistem
cross-cutting integration a la Napoleon dalam memecah belah suatu
bangsa. Sistem ini pulalah yang dianut rezim Orde Lama Soekarno yang
namanya begitu “harum” di depan hidung orang-orang yang awam politik.
Mula-mula
kejadian ini dicoba hendak ditutup-tutupi, tetapi harian Peristiwa
Aceh, yang terbit di Koetaraja membeberkan kejadian tersebut, sehingga
great expose di Jakarta, Medan, Bandung dan Yogyakarta. Ada beberapa
orang Aceh yang tinggal di Luar Negeri ingin membawa masalah itu ke
forum PBB di Nem York.
Masyarakat
Aceh di Jakarta, melalui perhim-punan masyarakat Aceh Taman Iskandar
Muda (TIM), mulai berfikir untuk mencari penyelesaian terbaik bagi
bangsa ini. Namun, idialisme hanya sampai tahap awal tentang bagimana
baiknya mengadakan “pendekatan” dengan pemerintah pusat untuk menanyakan
sampai berapa jauh kebenaran berita yang dimuat di surat-surat kabar.
Orang-orang politik, terutama yang duduk di DPR seperti Amelz dan ustadz
Nur El Ibrahimy bertanya lewat forum DPR. Orang-orang Aceh yang duduk
dalam pemerintahan, juga menjajaki melalui instansi masing-masing .
Kalau benar, bagaimana pertanggung jawaban oknum yang terlibat dalam
peristiwa tersebut.Yang lebih penting, bagaimana hal yang demikian tidak
terulang lagi.
Orang-orang
Aceh yang terdiri dari rakyat biasa, menanggapi peristiwa itu dengan
emosi yang meluap-luap. Dalam menghadapi Peristiwa Pulot-Cot Jeumpa
ini, orang-orang Aceh di Jakarta kompak. Satu saran mereka yang
positif, yaitu semuanya harus diselesaikan melalui jalur hukum yang
berlaku. Padahal Negara yang berdasarkan hukum ini sama-sekali “tidak
memakai hukum” untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik. Semuanya
cukup dengan sebuah rekayasa, sebuah “musyawarah yang dipaksakan”.
Pengurus
Taman Iskandar Muda mengadakan rapat pleni di Jalan Tosari 29 Jakarta
membicarakan langkah-langkah yang sepatutnya diambil oleh pengurus, baik
untuk intern menghadapi orang-orang Aceh di Jakarta maupun ekstern
menghadapi pemerintah pusat. Juga diperbincangkan sikap kebersamaan apa
yang selayaknya ditempuh oleh Badan Kontak Organisasi Aceh yang baru
dibentuk beberapa bulan sebelumnya.
Tiga
puluh delapan hari setelah meletus Peristiwa Daud Beureuh, Perdena
Menteri Ali Sostroamidjojo memberi Keterangan Pemerintah mengenai
peristiwa tersebut di dalam rapat pleno terbuka DPR-RI pada tanggal 28
Oktober 1953. Pemerintah menganggap bahwa apa yang terjadi di Aceh pada
tanggal 21 September itu adalah Pemberontakan Daud Beureuh dengan
segelintir kawan-kawan dan pengikut-pengikutnya, bukan pemberontakan
rakyat Aceh. Akan tetapi kalau kita mengetahui bahwa hampir seluruh
rakyat Aceh terlibat dalam pemberontakan itu, baik secara aktif maupun
dengan memberikan bantuan di belakang layar, demikian juga seluruh
instansi mulai dari pamong raja (bupati, wedana sampai kepada camat)
jawatan-jawatan terutama jawatan agama sampai kepada polisi, banyak
orang beranggapan bahwa pemberontakan itu adalah pemberontakan rakyat
Aceh yang total.
Keterangan
Pemerintah bagian kedua, yaitu yang mengenai latar belakang peristiwa,
menge-sankan seakan-akan Keterangan Pemerintah ini duplikat dari laporan
yang disodorkan oleh golongan yang pada waktu itu disebut “sisa-sisa
feodal”, yaitu laporan yang selalu dilontarkan oleh mereka terhadap
Teungku Muhammad Daud Beureueh dan kawan-kawan atau umumnya ter-hadap
PUSA. (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Rancangan Keterangan Pemerintah
yang pertama (kode S.1110/53) yang terdiri dari 33 butir sama sekali.
Umpamanya dikatakan bahwa pakaian seragam yang dipakai oleh anak-anak
pandu Kasysyafatul Islam kepunyaan PUSA yang berjumlah 4000 orang itu
adalah sumbangan dari Borsumij, suatu perusahaan Belanda.
Bagaimana
dapat masuk diakal, PUSA mau menerima sumbangan dari musuhnya? Bagimana
pula Borsumij mau memberi sumbangan kepada musuh negaranya? Dikatakan
pula bahwa PUSA menerima sumbangan dari Amerika Serikat sebanyak $
15.000.000,00 untuk membendung komunisme. Seterusnya dikatakan bahwa
pimpinan-pimpinan PUSA mempunyai saham dalam NV Permai dan ATC (Acek
Trading Company), suatu perusahaan milik Pemerintah Republik Indonesia.
Sedang dalam rancangan keterangan Pemerintah yang terakhir (kode
S1171/53 yang terdiri dari 22 butir) sebagian daripada tuduhan-tuduhan
yang keterlaluan itu telah dihi-langkan karena jelas benar
kebohongannya.
Kemudian
pada tanggal 2 November 1953 Pemerintah berdiri lagi di depan DPR-RI
memberi jawaban atas pandangan umum para anggota yang telah berbicara
pada babak pertama mengenai Keterangan Pemerintah yang diberikan pada
tanggal 28 Oktober 1953. Satu hal yang sangat tidak jujur bahwa setelah
selesai Pemerintah meng-ucapkan jawabannya, pemandangan umum babak kedua
langsung ditutup. Para anggota tidak diberi kesempatan lagi untuk
mengucapkan peman-dangan umumnya pada babak kedua untuk menguji jawaban
Pemerintah.Hal itu merupakan pengurangan hak-hak demokrasi.
Seterusnya
pada tanggal 13 April 1954 untuk ketiga kalinya Pemerintah memberi
keterangan di dalam rapat paripurna terbuka DPR-RI mengenai peristiwa
Cot Jeumpa, yang oleh harian Peristiwa yang terbit dari Kutaraja disebut
“banjir darah yang membasahi bumi Tanah Rencong”, karena 64 orang
penduduk yang tidak berdosa telah menjadi korban tindakan alat negara
yang tidak bertanggung jawab.
Dari
keterangan Pemerintah, baik yang di-ucapkan di dalam DPR, maupun yang
diberikan di luar DPR, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam penyesuaian
Peristiwa Daud Beureuh ini Pemerintah mempergunakan tangan besi, yaitu
dengan mengambil tindakan kekerasan senjata untuk membasmi
“gerombolan-gerombolan” liar yang memberontak dengan senjata terhadap
Pemerintah Negara Republik Indonesia.
Anggota-anggota
oposisi (Mr. Kasman Singo-dimedjo, Mr. Mohammad Dalijono, Amelz dan M.
Nur El Ibrahimy) yang tidak menyetujui kebijak-sanaan politik Pemerintah
mengenai Peristiwa Daud Beureueh, oleh Perdana Menteri Ali
Sastro-amidjojo dikatakan “seakan-akan memberi kesan hendak membela
pemberontak yang sudah nyata-nyata merugikan negara dan bangsa kita.”
khusus mengenai penulis dalam keterangannya yang terakhir sebelum
kabinetnya jatuh, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mencap M. Nur El
Ibrahimy “sebagai pembela pemberontak yang setia”.
“Tak
ada kesalahan yang M. Nur El Ibrahimy diperbuat, selain menentang
kebijaksanaan Pemerintah dan mengupas tanpa tedeng aling-aling tindakan
alat-alat negara yang melampaui batas-batas hukum dan melanggar
garis-garis perikemanusiaan terutama yang dilakukan oleh anak buah
Simbolon yang tergabung dalam Batalyon B dan anak buah Mayor Sjuib yang
tergabung dalam Batalyon 142. Mereka ini terlibat dalam pembantaian di
Cot Jeumpa dan sekitarnya (Pulot/Leupung dan Kroeng Kala)
yang menewaskan 99 orang penduduk yang tidak berdosa, sehingga
menimbulkan protes yang keras dari seluruh rakyat Aceh terutama pelajar
dan mahasiswa.
Pada
mulanya pemerintah membantah dengan keras adanya tindakan alat-alat
negara yang melampaui batas itu. Akan tetapi kemudian tatkala terjadi
pemberontak PRRI (Pemerintah Revo-lusioner Republik Indonesia) dan
Simbolon terlibat di dalamnya, Soedibjo – Menteri Penerangan pada waktu
itu mengutuk dan mencaci maki Simbolon dengan membongkar perbuatan anak
buahnya yang telah melakukan kekejaman dan pembantaian terhadap rakyat
Aceh pada waktu mereka bertugas memulihkan keamanan di daerah Aceh dalam
rangkaian Peristiwa Daud Beureuh.
Dari
pihak oposisi sejak awal telah mempe-ringatkan pemerintah bahwa
tindakan kekerasan semata-mata apalagi jika disertai dengan caci maki
dan tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan ter-hadap Tengku Muhammad Daud
Beureueh dan kawan-kawan tidak akan segera dapat menye-lesaikan
persoalan, malahan sebaliknya mungkin akan meruncing suasana dan
mengakibatkan penyelesaian menjadi berlaruh-larut. Akan tetapi, dengan
lantang pemerintah menyatakan bahwa keamanan akan dapat dipulihkan pada
akhir tahun 1953.Ternyata dugaan pemerintah meleset sama sekali. Hal itu
diakui oleh Komisi Parlemen ke Aceh yang diketuai oleh Sutardjo
Kartohadikusumo dan oleh beberapa orang wartawan yang pernah meninjau
Aceh di antaranya Hasan dari Abadi dan Asa Bafagih dari Pemandangan .
Kemudian,
setelah Takengong dan Tangse diduduki, pemerintah merasa optimis bahwa
keamanan akan dipulihkan pada bulan Maret 1954. Ternyata anggapan
pemerintah ini pun meleset. Bahkan, sampai Kabinet Ali jatuh pada tahun
1955, keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Benar, Tangse dan
Takengong diduduki pasukan peme-rintah maka pertempuran besar-besaran
yang dimulai 21 September 1953 tidak terjadi lagi. Akan tetapi, sejak
saat itu tejadilah apa yang dinamakan “gangguan keamanan” terus menerus
di mana-mana, bukan saja di kampung-kampung akan tetapi juga di
kota-kota. Terjadi penyerangan kecil-kecilan terhadap pos-pos tentara,
dan penghadangan-penghadangan terhadap patroli-patroli dan penye-rangan
terhadap konvoi-konvoi yang membawa pasukan atau mengangkut perbekalan.
Dipandang
dari segi kemiliteran pada saat itu potensi kaum pemberontak memang
tidak mem-bahayakan lagi, Akan tetapi, dilihat dari sudut keamanan
rakyat, gangguan itu langsung menimpa diri mereka .Kalau dalam taraf
pertama hanya alat-alat negara (tentara dan satuan Brimob) atau
gerombolan yang menjadi sasaran, maka dalam taraf yang kedua sasaran
langsung adalah rakyat, baik dari alat-alat negara, maupun adri pihak
gerombolan.
Menghadapi
tahap yang kedua ini timbul dua pendapat yang berbeda. Yang pertama
berpendapat bahwa potensi militer gerombolah sudah patah, mereka sudah
lumpuh dan terpecah-pecah serta terdesak ke hutan-hutan dan mengalami
kelaparan. Yang kedua, berpendapat bahwa gerombolan mengubah taktik,
mereka tidak mau memboroskan tenaga dengan jalan menghindari pertempuran
besar-besaran. Mereka melakukan pengadaan-pengadaan yang sedapat
mungkin efektif dengan kekuatan yang sekecil-kecilnya serta mengadakan
ganggguan keamanan yang merupakan pula perang urat saraf.
Pemerintah
dan pejabat-pejabat di pusat lebih mempercayai pendapat yang pertama
sehingga timbul rasa optimistis yang berlebih-lebihan bahwa keamanan
segera pulih kembali. Akan tetapi mereka langsung menghadapi peristiwa
di daerah yaitu Staf Keamanan di Koetaraja memandang bahwa keadaan dalam
tahap cukup kritis dan lebih membahayakan. Selain rakyat yang langsung
menjadi sasaran kedua pihak, roda pemerintahan tidak bisa berjalan
sebagaimana mestinya.
Pamongpraja
yang diangkat oleh Gubernur Sumatra Utara, Mr. S. M. Amin, untuk
mengisi lowongan yang ditimbulkan oleh pem-berontak, tidak melakukan
tugasnya karena 80% daripadanya terdiri “sisa-sisa feodal”. Mereka tidak
berani menempati posnya yang jauh dari kota karena takut kepada
gerombolan. Mengenai hal ini Bupati A. Wahab, Ketua/Koordinator Staf
Keamanan berkata, “Tetapi yang paling menyukarkan ialah Pamongpraja atau
pegawai yang telah ditetapkan untuk suatu tempat tidak ada yang berani
tinggal di tempatnya itu kalau tidak dikawal oleh alat negara yang
bersenjata.”
Koordinator
kepolisian, Nya’ Umar, berpendapat bahwa rakyat semakin merasa terancam
karena merajalelanya gerombolan yang menjalankan penculikan-penculikan,
sedangkan kekuatan ber-senjata tidak cukup untuk memberi perlindungan.
Selanjutnya Nya’ Umar berkata, “Bagi saya, bahaya yang tidak kurang
beratnya ialah gerombolan mempunyai orang-orang di daerah kita bahkan di
tengah-tengah kota.”
Geromboaln
Perti mengatakan bahwa sudah 35 orang anggotanya yang terbunuh.
Golongan BKR (Badan Keinsyafan Rakyat) yaitu oraganisasi “sisa-sisa
feodal” menganjurkan pemerintah agar me-nempatkan tentara
sebanyak-banyaknya di tiap-tiap kampung sehingga jumlahnya untuk
Kabupaten Aceh Besar saja jangan kurang dari 2.500 orang. Pada masa itu
di Koetaraja diadakan “daerah perlin-dungan” di Kedah yang menampung 150
orang lebih yang meminta perlindungan karena terancam di daerahnya.
Pada
waktu itu ada empat orang yang mena-makan dirinya “wakil rakyat” telah
menyampaikan permohonan kepada Menteri Pertahanan di Jakarta pada
tanggal 7 Januari 1954, supaya tentara yang bertugas di Aceh jangan
ditarik dahulu. Bukankah hal ini menunjukkan kritisnya keadaan?
Pendeknya,
gangguan keamanan yang oleh Pemerintah diharapkan dapat berakhir dalam
waktu yang singkat, sampai kabinet Ali Sostroamidjojo jatuh pada tahun
1955 belum teratasi. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar