BERAGAM versi sejarah perang Aceh ditulis, dari Jakarta sampai Belanda. Namun dari tiga puluhan nama pahlawan nasional, hanya empat pahlawan Aceh yang dikenal, yang sering dijual di pinggir jalan. Mereka adalah Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Tgk. Chik di Tiro
Oleh M Adli Abdullah (*
Di hati orang Aceh, pahlawan mereka
tidaklah sedikit. Terkait persoalan ini, Belanda telah memberikan
nama-nama yang pernah membuat pasukan mereka harus berjuang mati-matian
untuk menaklukkan Aceh sejak dari 21 Maret 1873 sampai tahun 1942. Jika
sumber sejarah nasional (Jakarta) sangat “miskin” kisah perlawanan
rakyat Aceh, maka sumber Belanda sangat kaya, bahkan kita karena tidak
paham bahasa Belanda, mungkin akan sangat sedikit bahannya terhadap
sejarah ini.
Dalam “sejarah tercecer” kali
ini saya akan mengangkat kisah seorang pejuang Aceh Teuku Cut Muhammad
yang ditulis oleh Abdul Karim, Penginjak Rem Kereta Api di Aceh Tram.
Dalam bukunya Pengalamanku Masa Perang Atjeh yang terbit pada tahun
1941, yang disadur Joesoef Syou’yb ( Di Pinggir Krueng Sampoiniet,
1941). Karim mengaku dia ditangkap hidup-hidup ketika terjadi
penyergapan Kereta Api di Lhokseukon oleh pasukan Teuku Cut Muhammad
sedangkan tentara Belanda dan penumpang kereta api lainnya mati ditangan
Pang Nanggroe pada tahun 1902 M. Karim selamat dari pasukan Teuku Cut
Muhammad yang dipimpin oleh Pang Naggroe karena mengaku dirinya Muslim
dan mampu mengucapkan dua dua kalimat shahadat ketika pasukan kaum
muslimin Aceh hendak membunuhnya.
Nama Karim ini tidak pernah
terdengar di telinga kita. Karim memang pernah tinggal di Aceh ketika
dia bersama kekasihnya dari pulau Jawa, Dina, juru rawat tentara
Belanda. Bekerja pada pemerintahan Belanda di Aceh. Dari kisah kesaksian
Karim ini juga terlihat bagaimana pola perjuangan di Aceh, yaitu sistem
yang dibangun dengan keluarga. Warisan “kebencian terhadap” Belanda
harus terpelihara erat di dalam sebuah keluarga, seperti yang terlihat
dalam artikel berikut ini. Jadi, pada edisi ini, kita akan melihat
sejarah perjuangan Aceh dari mata Karim dan juga bagaimana keteguhan
pejuang Aceh di dalam melawan Belanda.
Alkisah, ada seorang tokoh
perlawanan rakyat Aceh ketika melawan Belanda yaitu Teuku Cut Muhammmad
(1851-1905M), suami pertama Cut Meutia. Anak Teuku Bentara Jamaloi
(Teuku Ben Beureugang) dan Datoknya adalah Tok Bahra Ibnu Tok Wan Ibnu
Ja Po Intan, pahlawan Aceh yang gugur di Melaka (Malaysia) dalam
pertempuran melawan Portugis, masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M. Di sebutkan di dalam sejarah bahwa Teuku Cut Muhammad
bersama guru dan teman seperjuangannya seperti Teungku Chik di Lapang,
Teungku Chik Ara Keumudi, Teungku Chik Lhok Euncien, dan Teungku Chik
Paya Bakong, Tgk Chik di Barat, Pang Nanggroe, Teungku Ben Daud dan
isterinya Cut Meutia adalah mujahid yang terkenal dan disegani oleh
Belanda. Berbagai taktik digunakan untuk melawan Belanda.
Tercatatlah satu peristiwa
tanggal 21 Nopember 1902 M, Teuku Cut Muhammad mengirim agen intelijen
yang bernama Pang Mubin yang menyamar sebagai penduduk yang telah takluk
kepada Belanda. Agen Teuku Cut Muhammad ini mendatangi sebuah bivak
tentara di Gampong Matang Rajeuk, memberitahukan bahwa pejuang Aceh
sedang mengadakan kenduri di seberang Krueng Piada, Sampoiniet. Komandan
bivak segera mengirimkan pasukan kesana dengan perhitungan semua yang
hadir dalam kenduri akan dapat dihabisi. Kepada Letnan P.R.D. de Kok,
seorang perwira yang berpengalaman dalam pertempuran di hutan-hutan dan
terkenal keberaniannya, diserahi memimpin penyergapan ini. Ketika
mendekati tempat yang dituju, mereka harus menyeberangi sebuah sungai,
karena menurut laporan, upacara yang sedang berlangsung adalah di
seberang sungai itu.
De Kok memerintahkan Pang Mubin
dan kawannya mengayuhkan perahu ke seberang. Dan pada malam terang bulan
itu terbayanglah padanya harapan kemenangan yang gemilang. Tetapi semua
serdadu tersebut tenggelam dalam khayalannya, karena perahu mereka
telah dibocori oleh agen Teuku Cut Muhammad tersebut.. Karim menukilkan
kesaksiannya sebagai berikut:
Sahabat ! Tiada kuat hatiku akan
mentjeriterakan kengerian peristiwa masa itu. Sampai kepada masa ini
peristiwa Sampoinit itu amat tertjatat didalam sedjarah. Masih
tampak-tampak olehku, dalam tjahaja bintang jang terkidjap-kidjap
dipermukaan air, sungai besar itu meraih oleh darah; dan dipinggir
sungai, darah berleleran diatas rumput.
Djangan dikata pula lagi raung
djerit dan pekik jang menjeramkan. Kesingkatan peristiwa itu sadja jang
sanggup saja tjeritakan. Benarlah berlaku kedjadian jang mareka
rentjanakan sedjak bermula. Kedua perahu itu mendekati tengah. Dua
tembakan kedengaran dan kedua perahu itu sekonjong-konjong terbalik.
Suara pekik lalu bertjampur dengan djerit gemas dan amarah jang kalang
kabut.
“Tukang dajung !”
“Setan, tangkap ia !”
“Keduanja lolos ....”
“Buru dan selami lekas !”
“Wahai, senapanku !”
Kearah tumpak itu
sekonjong-konjong menghudjan peluru dari pinggir. Djerit gemas
bergantikan djerit sakarat. Mana jang sanggup menjeberang kepinggir
disambut pula oleh pedang dan kelewang. Konon kabarnja - setelah saja
beroleh kabar pasti beberapa hari kemudiannja - diantara empatpulun lima
orang serdadu itu ada duapuluh sembilan orang jang mendjadi korban.
Seorang diantaranja Luitenant Kock sendiri. Dalam pada itu ada
empatpuluh dua senapan jang hilang lenjap. Kedjadian itu ialah dalam
bulan Nopember 1903.
Agaknya, jauh sebelum kejadian
10 November (hari Pahlawan) di Jawa Timur yang melambungkan nama Bung
Tomo, kisah kepahlawanan Aceh pada November 1903 memang tidak pernah
tercatat rapi di dalam sejarah perjuangan nasional. Kesaksian Karim,
asal Padang (Sumbar) ini bisa menjadi “sejarah tercecer” bagaimana
perang berlangsung di Aceh saat itu.
Banyak tentara Belanda yang
menjadi korban atas taktik dan siasat yang dimainkan oleh Teuku Cut
Muhammad, Gubernur Jenderal Van Heutz akhirnya menekan Cut Nyak Asia,
adik ayah Teuku Cut Muhammad, agar menyerahkan kemenakannnya dan dijamin
keselamatannya. Akhirnya, Teuku Cut Muhammad, atas tipu daya Letnan Van
Vuuren penguasa Belanda di Lhokseumawe berhasil menangkap Teuku Cut
Muhammad dengan cara mengundangnya untuk makan bersama dikediamannya.
Karena siasat ini pula dia akhirnya dihukum mati bulan 25 Maret 1905.
Selama berada di dalam penjara
Belanda, Teuku Cut Muhammad berpesan agar istrinya Cut Meutia bersedia
melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Di samping dia disuruh menjaga
anak semata wayang mereka, yaitu Raja Sabi, Cut Meutia juga dinasehatkan
agar mau menikah lagi dengan Pang Nanggroe - sebagai panglima perang
Teuku Cut Muhammad. Inilah sejarah awal kenapa Cut Meutia terlibat di
dalam kancah perang Aceh. Sampai sekarang dalam sejarah nasional,
nama-nama suami Cut Meutia jarang diungkit sebagai pahlawan nasional.
Gambar Cut Meutia terlihat jelas di dalam barisan pahlawan Nasional
segaris dengan R.A. Kartini yang dianggap sebagai tokoh emansipasi
wanita Indonesia.
Kisah kesaksian Karim dan
bagaimana sikap Teuku Cut Muhammad memang jarang dikisahkan. Dalam hal
ini, jiwa kepahlawanan para pejuang Aceh memang merata di setiap penjuru
tanah Aceh. Jadi, kita tidak sepatutnya hanya mengatakan bahwa pejuang
Aceh hanya berasal dari kawasan tertentu, lalu karena ada gelar kampung
tersebut, kita menganggapnya pahlawan hingga sekarang.
Perjuangan rakyat Aceh dulu,
adalah perjuangan kerakyatan. Artinya, kendali perang bukan dari istana
atau bahkan dari luar negeri. Sejarah perjuangan Aceh adalah sejarah
seluruh rakyat Aceh secara komprehensif, bukan sejarah keluarga si fulan
dari daerah si fulen.
Satu hal lagi yang menarik
adalah sudah saatnya rakyat dan pemerintah Aceh menulis ulang sejarah
perjuangan mereka. Sumber-sumber sejarah masih berserakan dimana-mana.
Banyak nama pahlawan yang tidak kita kenal. Sehingga menganggap kisah
heroik mereka adalah mitos atau legenda di masa yang akan datang.
Akibatnya kita menjadi kehilangan kendali sejarah— peuturi droe keudroe.
Ini bedanya dengan tempat lain, banyak kisah perjuangan melawan
penjajah kemudian dijadikan sebagai simbol-simbol perjuangan bangsa
Indonesia.
Inilah saat yang tepat untuk
mengambil ruh perjuangan mereka untuk dijadikan sebagai piring sejarah.
Lalu bisa dinikmati generasinya. Kisah Karim dari Padang juga menarik
untuk mahami bagaimana kesetiaan orang Aceh di dalam mempertahankan
tanah indatu. Inilah kesadaran yang sekarang makin pupus.
M. Adli Abdullah, pemerhati Sejarah, Adat dan Budaya Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar