Aceh saat ini membawa
ketegangan, antar sesama warga Aceh mulai menabuh permusuhan, karena
Pilkada. Terbelah dalam kelompok politik penebar aroma kebencian yang
menyengat. Pemerintah Pusat yang diharapkan memberikan solusi, lebih
suka berpangku tangan. Membiarkan Aceh saling melukai hingga makin
terkoyak, berdarah, dan bernanah.
Minggu 20 November 2011 besok,
mari sejenak melihat para seniman muda Aceh di Jakarta menerbangkan Aceh
ke masa silam. Mereka menjadi mesin pemutar waktu, mempertontonkan
rakyat Aceh yang bersatu, murah hati, dan dermawan.
Menggunakan Replika pesawat
Seulawah RI-001 yang teronggok di halaman Anjungan Aceh Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) Jakarta, sebagai panggung pertunjukan bertajuk
“Panggung Seni Seulawah RI, pertunjukan yang berlangsung pada 09.00 wib
sampai 11.00 WIB itu akan disi oleh lebih 100 pemusik, penari dan
pembaca puisi, yang berasal dari berbagai kelompok kesenian Aceh di
Jakarta. Di antaranya ikut grup kesenian Lembaga Pelestarian Seni
Budaya Aceh (LPSBA) Kota Sabang.
Di sinilah mereka menguraikan
riwayat keikhlasan Aceh menyumbang emas dan harta bendanya untuk membeli
pesawat dakota yang diregistrasi menjadi Seulawah RI-001. Seulawah
artinya Gunung Emas.
Narasi dan penataan pertunjukan
“Panggung Seni Seulawah RI-001” digarap oleh Fikar W. Eda. Seniman Aceh
ini memanfaatkan bentuk-bentuk kesenian tradisional Aceh seperti
hikayat, sebuku, didong, saman, bines, rapa’i dan lain-lain. Musik
ditangani Alex Qanun dan kawan-kawan.
***
Pada 1948 Republik Indonesia
sedang berjuang menghindari restaurasi penjajahan kolonial Belanda. DI
zaman yang sangat sulit itulah Presiden Sukarno berkunjung ke Kutaraja
(sekarang Banda Aceh), Ibukota Provinsi Aceh, pada 16 Juni 1948.
Rakyat
Aceh menjamu sang Presiden makan malam di Hotel Atjeh. Di sinilah
Presiden Soekarno menyampaikan rencana pembelian pesawat untuk
kepentingan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan. Secara khusus
meminta sumbangan rakyat Aceh. “Saya tak bersedia makan malam sebelum
ada jaminan dana pembelian pesawat,” kata Soekarno ketika itu.
Ketua Gabungan Saudara Indonesia
Aceh (Gasida) HM Djoened Joesoef yang juga salah seorang saudagar,
menyambut permintaan Soekarno itu dan mengkoordinasikan penghimpunan
sumbangan dari rakyat Aceh. Terkumpul dana 120 ribu dolar dan 20
kilogram emas, nilainya pada saat itu berkisar 120.000 Dollar Malaya.
Dengan "gunung emas", hadiah
dari rakyat Aceh, itu pada Oktober 1948 dibelikan satu pesawat terbang
merek DC 3 „Dakota“ (C 47) di Singapura. Diberi nama Seulawah RI,
pesawat ini langsung bertugas untuk penerbangan antara Maguwo
(Jogyakarta) dan Kutaraja (Aceh).
Penerbangan yang bersejarah
terjadi di bulan Nopember 1948 sewaktu Wapres Dr. M. Hatta berkunjung
di seluruh daerah-daerah Republik Indonesia di Sumatra demi memperkokoh
semangat nasional pembela-pembela kemerdekaan Republik Indonesia yang
bertahan melawan serangan Belanda.
Lalu, dari pesawat inilah lahir pesawat-pesawat lainnya. Pada akhir 1949, Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesian Airways.
Kini anak-cucu Seulawah menjadi
ratusan Garuda Indonesia Airways yang setiap hari terbang berseliweran
di udara. Menjadi sebuah maskapai kebanggan Indonesia yang tak hanya
mengirimkan kabar gembira untuk Aceh, juga menerbangkan cerita nestapa
yang tiada berujung ke tanah leluhurnya.
***
Bagi rakyat Aceh nama Seulawah
menjadi simbol dan bukti pengorbanan rakyat Aceh untuk kemerdekaan
Indonesia, yang begitu lama menunjukkan kesetiaannya terhadap persatuan
nasional.
Namun kesetiaan itu berbalas
luka untuk Aceh. Hingga kemudian melahirkan berbagai kekecewaan.
Meletuslah perlawanan Daud Beureu-eh lewat DI-TII, kemudian Hasan Tiro
melalui Gerakan Aceh Merdeka. Setelah diterjang bencana tsunami, barulah
ada damai di Aceh. Lewat perjanjian damai dengan berbagai kemudahan
untuk Aceh.
Kini damai itu mulai retak dan
menyemai bibit pertikaian yang barangkali akan tiada berkesudahan. Tak
lagi dengan Jakarta (pemerintah pusat), tetapi antar sesama rakyat Aceh
yang terbelah dalam kepentingan politik. Jakarta yang diharapkan sebagai
penengah, sampai kini belum menerbitkan sebuah kebijakan yang bisa
menenangkan pihak yang bertikai.
Jika begini, maka wajarlah jika seniman Fikar W. Eda pernah menggoreskan sebuah puisinya "Rencong".
RENCONG
Siapa saja yang datang kami sambut dengan tarian
dan syair perjamuan pertanda kemuliaan
Siapa saja yang datang kami kalungi bunga
salam sepuluh jari menjadi sebelas dengan kepala
Siapa saja yang datang kami hadiahi gelar
sebagai saudara dan penghormatan
Berbilah-bilah rencong dengan sarung dan tangkai berkilap
tak lupa kami selipkan
pertanda martabat dan keagungan
Betapa pedih hati kami
dari Jakarta
kalian hujamkan mata rencong itu
tepat di jantung kami!
Jakarta, 1998
***
Dikutip dari Atjehpost.com, 20 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar