Di tengah kemajuan teknologi
‘dunia maya’ saat ini, tak ada lagi kejadian di muka Bumi yang dapat
ditutupi. Apa yang terjadi di ujung dunia belahan barat, dalam waktu
bersamaan dapat diketahui di belahan dunia bagian timur. Setiap
peristiwa yang terjadi di kutup utara, dalam detik yang sama dapat
diakses di ujung dunia belahan selatan.
Begitu juga apa yang terjadi di Aceh hari ini, tanpa selang waktu segera tersiar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke “negeri tak bertahta”
yang kebetulan masih punya hubungan emosional historis dengan Aceh.
Sejak pergolakan Aceh puluhan tahun silam, yang kemudian disusul bencana
tsunami hingga terjadinya perjanjian damai RI-GAM, apa yang terjadi di
Aceh tak luput dari pantauan kami di “negeri tak bertahta”, yang selalu
mengundang keprihatinan kami.
Sungguh, karena keprihatinan
itu, kami memberanikan diri mengirimkan sepucuk surat persahabatan untuk
Aceh, yang isinya saling mengingatkan bagaimana kita harus membangun
sebuah negeri yang disenangi rakyat. Surat ini sebenarnya bukan surat
pertama kami kirimkan untuk Aceh. Jauh sebelum tsunami-di saat Aceh
sedang hebat-hebatnya bergolak-kami juga sudah pernah beberapa kali
mengirimkan surat keprihatinan yang sama terhadap nasib dan masa depan
Aceh ketika itu.
Surat yang kami kirimkan kali
ini juga sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri urusan dalam
negeri Aceh. Kami sangat menghormati segala aturan hukum dan kebijakan
yang berlaku dalam pemerintahan Aceh. Lebih-lebih setelah lahirnya UUPA
Nomor 11 Tahun 2006, yang dengan Undang-Undang itu sebenarnya Aceh telah
diberi kewenangan lebih dari “setengah federal” untuk membangun jati
dirinya kembali.
Karena itu, surat ini
hendaknya janganlah diterjemahkan memiliki misi tertentu. Tujuan kami
hanya semata-mata sebagai hubungan diplomasi antara “negeri tak
bertahta” dengan Aceh beserta seluruh rakyatnya, yang sebentar lagi akan
memilih pemimpin yang baru. Meskipun kasak-kusuk menjelang Pemilukada
di Aceh secara etika politik kadang kurang menyenangkan, namun kami
pahami sebagai sesuatu yang lumrah dalam dunia perpolitikan yang jarang
mengindahkan moral dan etika.
Apa yang terjadi di Aceh
akhir-akhir ini, terutama ketidakharmonisan legislatif-eksekutif, telah
menjadi perbincangan hangat di “negeri tak bertahta”. Koran-koran di
negeri kami-saking besarnya perhatian terhadap Aceh-hampir saban hari
melansir berita bahwa bunga damai yang sedang mekar di Aceh mulai
menebar wangi tidak sedap.
Editorial Harian Maya, -sebuah
Harian nasional paling maju di “negeri tak bertahta”, edisi 17 Agustus
2011, menulis, jika Aceh terus berseteru sesama dirinya hanya karena
berbeda kepentingan politik, maka taruhannya adalah rakyat Aceh akan
selalu menjadi tumbal kepentingan politik elite, dan ini akan sangat
riskan bagi kelangsungan perdamaian Aceh, sekaligus besar kemungkinan
Aceh harus menanggung kerugian sejarahnya yang kesekian kali.
Dalam kondisi ketidakstabilan
perpolitikan Aceh saat ini, rakyat Aceh mestinya harus lebih
berhati-hati. Karena, dalam sebuah perseteruan politik di mana pun di
dunia, pasti akan muncul “bandit-bandit sosial” yang memanfaatkan
situasi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Belum lagi orang
yang akan bertepuk tangan dalam menonton sebuah “perseteruan kebodohan”
yang terjadi di Aceh.
Hendaknya, menurut kami,
perseteruan politik yang terjadi di Aceh tidak sampai ada orang lain
yang mengatakan: Biarkan Aceh berkelahi sesama dirinya sendiri. Kalau
kalimat itu sudah diucapkan orang, mungkin Aceh harus siap-siap kembali
menanggung segala konsekuensi situasi ketidaknyamanan yang mengundang
pihak lain untuk menanganinya.
Itu sebabnya, kami di “negeri
tak bertahta” merasa sangat tidak rela kalau Aceh harus kembali
menanggung rasa ketidaknyamanan bagi rakyatnya, hanya karena berbeda
kepentingan para elite. Pengalaman selama 30 tahun silam, mestinya
menyadarkan Aceh untuk tidak lagi terjebak dalam sejarah kelam yang
mengerikan. Memang, tiap perjuangan mesti ada pengorbanan. Tapi, tidak
selamanya untuk melahirkan sebuah undang-undang harus dibayar dengan
ribuan nyawa lebih dahulu. Ini yang mesti dipahami rakyat Aceh, agar
tidak kembali terjebak dalam sejarah kelam.
Dulu, ketika Aceh
terombang-ambing di laut lepas semuanya sapue pakat, tapi setelah sampai
ke darat kini sudah lain ceritanya. Seperti kata orang, “Kalau sudah
ada rakit bak pisang (pohon pisang), buat apalagi pohon rangkileh, bila
sudah sampai di seberang kupue teuh lom raket pale (buat apa lagi rakit
brengsek itu).” Karakter tidak menghargai jasa orang lain inilah
sebenarnya yang harus didiskusikan ulang oleh semua komponen rakyat Aceh
untuk menemukan siapa yang dirugikan dan diuntungkan dalam mengisi
damai sekarang ini.
Mencermati keadaan itu, maka
sekali lagi, melalui surat ini, dengan tidak bermaksud mencampuri urusan
dalam negeri Aceh, kalau boleh kami menyarankan pada segenap komponen
rakyat Aceh, mulai dari pejabat pemerintahan (eksekutif-legislatif),
mahasiswa, seniman, budayawan, akademisi, petani, nelayan, hingga tukang
becak dan buruh harian, atau apa pun profesinya, hendaklah bersatu
padu membangun kembali jati diri keacehannya kalau rakyat Aceh ingin
kembali membangun masa depan yang lebih baik.
Dalam hal ini, sudah tentu di
Aceh tak ada lagi kesan adanya warga Aceh yang mengganggap dirinya
“warga Aceh nomor satu”, yang menempatkan warga Aceh lain sebagai warga
“nomor dua”. Semua rakyat Aceh sama bertanggung jawab terhadap
pembangunan masa depan Aceh sesuai kapasitas dan profesinya
masing-masing untuk membangun kesejahteraan bersama.
Di negeri kami yang tak
bertahta, tak pernah ada warga yang arogan, merasa paling benar
dibandingkan yang lain. Karena dasar undang-undang negeri kami adalah
“satu jiwa dan satu rasa”. Jadi, begitu kokoh dan bersatu padunya
kebersamaan yang kami bangun, sehingga tak ada di antara warga negeri
yang merasa direndahkan. Karena dasar itu pula kami dapat membangun
negeri kami menjadi negeri yang makmur, aman, dan tertib.
Menariknya lagi, meskipun di
negeri kami tidak berlaku Syariat Islam, namun rakyat sangat patuh
menjalankan ajaran agama. Kepatuhan rakyat kami terhadap ajaran agama
tidak hanya dalam perkataan, tapi tercermin dalam segala tindakan
perbuatan, sikap dan perilaku, baik secara individual maupun secara
sosial kolektif. Kesalehan individu dengan kesalehan sosial adalah mata
rantai yang tak dapat dipisahkan dalam membangun sebuah negeri yang
jujur dan amanah. Sehingga kasus-kasus penyelewengan harta negara,
apalagi korupsi di negeri kami hampir tidak pernah terjadi. Malah tidak
ada pejabat negara, politisi, profesor, dan pengurus Partai Politik di
negeri kami yang berstatus tersangka.
Rakyat Aceh boleh tidak percaya
terhadap semua cerita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang telah
berhasil kami bangun di “negeri tak bertahta”. Karenanya, wakil rakyat
Aceh bila ada kesempatan sekali waktu berstudi-bandinglah ke negeri kami
untuk melihat bagaimana kami membangun negeri untuk memakmurkan dan
menyejahterakan rakyat.
Kami dengan senang hati menunggu
kedatangan Wakil Rakyat Aceh untuk bersilaturahmi-menyambung kembali
hubungan sejarah antara Aceh dengan “negeri tak bertahta” yang barang
kali selama ini sudah terputus, setelah pernah terjalin mesra beberapa
abad yang silam. Kami yakin, bila Aceh berstudi banding ke negeri kami,
banyak hal yang dapat dipelajari dalam membangun Aceh ke depan. Terlebih
dalam keadaan Aceh yang ingin memilih pemimpin barunya saat ini.
Kami melihat, Aceh
sekarang-paling tidak lima tahun ke depan-butuh seorang pemimpin yang
cerdas dan tegas yang memiliki daya pikir intelektual yang tinggi,
mampu menggerakkan pembangunan Aceh tidak dalam bentuk kepentingan
kelompok yang sifatnya hanya untuk kepentingan sesaat sesuai selera
pemimpin yang berkuasa. Sosok pemimpin yang dibutuhkan Aceh saat
ini-meski sulit dicari penggantinya-adalah seperti figur almarhum Prof
Ibrahim Hasan yang hingga kini masih sulit dilupakan masyarakat Aceh
karena keberhasilannya hampir dalam semua lini pembangunan di era
1980-an hingga awal 1990-an.
Oleh sebab itu, di penghujung
surat ini, kami berharap rencana pemilihan gubernur baru dan 17
bupati/walikota di Aceh akhir tahun ini-meskipun secara politis masih
terjadi tarik-ulur—hendaknya dapat segera diakhiri dakwa-dakwi. Sehingga
Pemilukada di Aceh dapat berlangsung secara damai dan demokratis. Lagi
pula, menurut kami, tak ada guna Aceh berseteru sesama orang Aceh
sendiri, bila perseteruan itu akan saling memperlihatkan “kebodohan”
yang membuat orang lain tertawa senang.
***
* Oleh Nab Bahany As Penulis budayawan, tinggal di Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar