Sejarah ulama Aceh yang belajar-mengajar dan mencari Ilmu serta membina kader-kader Islam, mahsyur hingga ke pelosok Nusantara. Diantaranya Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib Asyi.
Syeikh
Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, tidak banyak dikenal oleh generasi Aceh
kini. Padahal karya Tajul Muluk, sering dibaca sampai sekarang. Sebelum
berangkat ke Mekkah beliau berguru pada Syeikh Ali Asyi di Aceh, dan
sewaktu beliau berada di Mekkah diantara guru gurunya adalah, Syeikh
Daud bin Abdullah Al Fathani dan Syeikh Ahmad al-Fathani.
Kedua
ulama ini memang sangat disegani, tidak hanya di tanah Arab, tetapi
juga di rantau Melayu, seperti di Aceh, Pattani, dan Kelantan. Syeikh
Ismail bin Abdul Muthalib Asyi, agaknya tidak lepas dari jaringan
keilmuan Nusantara ini. Kendati, sampai sekarang hampir tidak ada
peneliti yang berani melakukan pengkajian terhadap biografinya secara
lengkap.
Aceh,
pulau jawa, sumatera, dan juga Kalimantan, ada kitab yang selalu dibaca
oleh kaum santri atau siapapun yang tertarik dengan ilmu pegobatan,
yakni Kitab Tajul Muluk. Kitab ini menggunakan bahasa Jawi (jawoe), maka
siapapun bisa membacanya bila mengerti.
Anak
Aceh yang sudah belajar di pesantren modern atau Madrasah ‘Aliyah,
diantara cita-cita mereka adalah bisa belajar di Kairo, Mesir. Negeri
yang sudah mencetak ribuan ulama, bahkan tidak sedikit jiwa pembaruan di
Nusantara, disemai dari mereka yang pernah menimba ilmu di Mesir.
Sehingga
anak muda Aceh yang merantau ke Mesir itu tidak sedikit. Saat ini sudah
ada yang berbakti di Darussalam, seperti Prof. Dr. Tgk. Muslim Ibrahim.
Juga ada Prof. Dr.Tgk. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh). Di dalam era kontemporer, dunia Islâm di Aceh
memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi keilmuan Islam yang
didapatkan oleh sarjana-sarjana Aceh yang pernah menuntut ilmu di Kairo
ini.
Ini
merupakan impian setiap anak muda Aceh, yang mau menuntut ilmu ke
mesir. Karena mesir gudangnya Ilmu Pengetahuan, dan Mesir tempat Ilmu
pertama kali yang terbaik dalam hal masalah agama dan Ilmu pengobatan.
Selain
Tajul Muluk, ada karyanya yang masih ada sampai saat ini adalah Jam’u
Jawami’il Mushannifat. Salah satu kitab yang wajib dibaca di
dayah-dayah, tidak hanya di Aceh, melainkan juga di Pattani dan
Kelantan. Di dalam kitab tersebut, Syeikh Ismail menulis sepenggal
kalimat yang sangat puitis:
Di
dalam hal ini, Syeikh Ismail selain mentashihkan kitab-kitab ulama Aceh
pada saat itu agar mudah dibaca umum. Selain itu ia juga mengarang
kitab sendiri seperti Muqaddimatul Mubtadi-in, yang dicetak oleh
Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1307 Hijrah/1889 Masehi. Tuhfatul Ikhwan fi
Tajwidil Quran, diselesaikan pada waktu Dhuha hari Jumaat dua likur
Jamadilawal 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan pertama Mathba’ah
al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah/1893 Masehi. Terdapat lagi
cetakan Mathba’ah al-Miriyah, Mekah, 1324 Hijrah/1906 Masehi, Fat-hul
Mannan fi Bayani Ma’na Asma-illahil Mannan, diselesaikan tahun 1311
Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah,
Makkah, 1311 Hijrah/1893 Masehi, Fat-hul Mannan fi Hadits Afdhal Waladi
‘Adnan, diselesaikan tahun 1311 Hijrah/1893 Masehi.
Berawal
dari kisah Syeikh Ismail bin Abdul Muthalib al-Asyi, lalu mencoba
mencari apakah ada ulama Aceh yang cukup disegani di Mesir? Dalam
beberapa ‘catatan tercecer’ telah dikupas beberapa nama ulama Aceh di
Mekkah serta jasa mereka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di
Mekkah berikut Serambinya (Aceh). Tanpa sengaja kemudian tersentak bahwa
pengarang kitab Tajul Muluk adalah ulama Aceh yang pernah menetap di
Mesir. Lagi-lagi, nama beliau tidak pernah terdengar di Aceh, walaupun
hanya untuk nama jalan, seperti yang terlihat sekarang, dimana ada
nama-nama ulama besar hanya dijadikan sebagai nama-nama jalan di kota
besar Aceh.
Wan
Muhammad Sangir Abdullah, pengumpul hasil karya ulama Nusantara,
mengatakan bahwa Syeikh Ismail Abdul Muthalib Asyi, setelah lama belajar
dan mengajar di Mekkah oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani mengirim
beliau ke Mesir untuk mengurus dan membina kader kader muda Islam
Nusantara yang lagi belajar di Al Azhar Kairo bersama Syeikh Muhammad
Thahir Jalaluddin, Syeikh Ahmad Thahir Khatib, Syeikh Abdurrazak bin
Muhammad Rais, dan Syeikh Muhammad Nur Fathani.
Sesampainya
di sana beliau mendirikan wadah pemersatu pelajar pelajar Nusantara
disana dan beliau diangkat menjadi ketua pertama persatuan pelajar
pelajar Melayu di Mesir oleh gurunya Syeikh Ahmad Fathani. Syeikh Ismail
Asyi meninggal dunia di Mesir dan sedangkan keturunannya ramai menetap
di Makkah. Sampai sekarang belum diketahui dimana pusaranya. Namun, jasa
dan embrio keilmuan yang ditiupkan oleh Syeikh Ahmad Fathani kepada
Syeikah Ismail Abdulmuthalib Asyi sudah berhasil. Buah dari hijrah ini
sudah dapat kita rasakan sampai hari ini, tidak hanya bagi orang Aceh,
tetapi juga bagi umat Islâm di Indonesia, Malaysia, dan Thailand
Selatan.
Inilah
kisah kecil dan peran Syeikh Ismail bin Abdulmuthalib Asyi. Ada banyak
hal yang perlu dipelajari lebih lanjut. Perlu dilacak lagi bagaimana
jaringan keilmuannya di Mesir. Sehingga ada ‘alasan sejarah’ mengapa
generasi Aceh selalu bermimpi untuk menuntut ilmu ke negeri itu. kisah
ini ternyata sudah dilakukan oleh Syeikh Ismail Abdulmuthalib Asyi
melalui dorongan dari gurunya yang berasal dari Pattani. Untuk itu, kita
berharap nama ulama ini bisa mendapat tempat yang terhormat di Aceh,
tidak lantas kemudian menjadi nama-nama jalan di kota besar.
Menghormati
dan menghargai ulama, adalah dengan cara membaca karyanya dan berdoa
atas jasa yang telah diberikan kepada kita saat ini. Begitu banyak
manfaat kitab Tajul Muluk, namun tidak seimbang dengan pengetahuan
pembaca akan penulis kitab ini. Akhirnya ‘sejarah tercecer’ dan tersebar
entah kemana, kali ini bisa menjadi perhatian bagi masyarakat dan
pemerintah Aceh. Sudah saatnya digagas untuk menulis dan mencari dimana
ulama-ulama Aceh di Timur Tengah..Kita berharap ada upaya nyata dari
pemerintah untuk menggali dan mencari jejak-jejak ulama Aceh, yang telah
berjasa dalam pengembangan keislaman dan keilmuan sehingga menjadi
iktibar bagi generasi Aceh selanjutnya.
Secara
sejarah, modernisasi pendidikan di Mesir berawal dari pengenalan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi Napoleon Bonaparte pada saat
penaklukan Mesir. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang dicapai
Napoleon Bonaparte yang berkebangsaan Perancis ini, memberikan inspirasi
yang kuat bagi para pembaharu Mesir untuk melakukan modernisasi
pendidikan di Mesir yang dianggapnya stagnan. Diantara tokoh-tokoh
tersebut Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Ali Pasha.
Dua yang terakhir, secara historis, kiprahnya paling menonjol jika
dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Sistem Pendidikan di negara
Mesir meliputi: Sekolah Dasar (Ibtida’i); Sekolah Menengah Pertama
(I’dadi); Sekolah Menengah Atas (Tsanawiyah ‘Ammah); Pendidikan Tinggi.
Mesir
dengan luas wilayah sekitar 997.739 km², mencakup Semenanjung Sinai
(dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar
wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di
sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur.
Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan
Laut Merah di timur.
Asal
nama Mesir, Orang Qibti (Mesir kuno) menyebut negeri ini di zaman
dahulu dengan istilah Kemy dan Takemy yang berarti hitam atau tanah yang
hitam, sebagai simbol dari warna tanah yang subur. istilah Mesir paling
kuno adalah Tawey yang berarti dua tanah. Karena secara geografis Mesir
terbagi kepada dua, Tasymaao (dataran tinggi) dan Tsameho (permukaan
laut atau ardh wajhul bahri). Nama ini muncul sejak akhir 4000 tahun SM.
[modusaceh.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar