Jumat, Januari 06, 2012

Tak Hanya Segunung Emas, Juga Rencong untuk Jakarta





Aceh saat ini membawa ketegangan, antar sesama warga Aceh mulai menabuh permusuhan, karena Pilkada. Terbelah dalam kelompok politik penebar aroma kebencian yang menyengat. Pemerintah Pusat yang diharapkan memberikan solusi, lebih suka berpangku tangan. Membiarkan Aceh saling melukai hingga makin terkoyak, berdarah, dan bernanah.

Minggu 20 November 2011 besok, mari sejenak melihat para seniman muda Aceh di Jakarta menerbangkan Aceh ke masa silam. Mereka menjadi mesin pemutar waktu, mempertontonkan rakyat Aceh yang bersatu, murah hati, dan dermawan.

Menggunakan Replika pesawat Seulawah RI-001 yang teronggok di halaman Anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, sebagai panggung pertunjukan bertajuk “Panggung Seni Seulawah RI, pertunjukan yang berlangsung pada 09.00 wib sampai 11.00 WIB itu akan disi oleh lebih 100 pemusik, penari dan pembaca puisi, yang berasal dari berbagai kelompok kesenian Aceh di Jakarta. Di antaranya ikut grup kesenian Lembaga Pelestarian Seni Budaya Aceh (LPSBA) Kota Sabang.

Di sinilah mereka menguraikan riwayat keikhlasan Aceh menyumbang emas dan harta bendanya untuk membeli pesawat dakota yang diregistrasi menjadi Seulawah RI-001. Seulawah artinya Gunung Emas.

Narasi dan penataan pertunjukan “Panggung Seni Seulawah RI-001” digarap oleh Fikar W. Eda. Seniman Aceh ini memanfaatkan bentuk-bentuk kesenian tradisional Aceh seperti hikayat, sebuku, didong, saman, bines, rapa’i dan lain-lain. Musik ditangani Alex Qanun dan kawan-kawan.

***

Pada 1948 Republik Indonesia sedang berjuang menghindari restaurasi penjajahan kolonial Belanda. DI zaman yang sangat sulit itulah Presiden Sukarno berkunjung ke Kutaraja (sekarang Banda Aceh), Ibukota Provinsi Aceh, pada 16 Juni 1948.

Rakyat Aceh menjamu sang Presiden makan malam di Hotel Atjeh. Di sinilah Presiden Soekarno menyampaikan rencana pembelian pesawat untuk kepentingan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan. Secara khusus meminta sumbangan rakyat Aceh. “Saya tak bersedia makan malam sebelum ada jaminan dana pembelian pesawat,” kata Soekarno ketika itu.

Ketua Gabungan Saudara Indonesia Aceh (Gasida) HM Djoened Joesoef yang juga salah seorang saudagar, menyambut permintaan Soekarno itu dan mengkoordinasikan penghimpunan sumbangan dari rakyat Aceh. Terkumpul dana 120 ribu dolar dan 20 kilogram emas, nilainya pada saat itu berkisar 120.000 Dollar Malaya.

Dengan "gunung emas", hadiah dari rakyat Aceh, itu pada Oktober 1948 dibelikan satu pesawat terbang merek DC 3 „Dakota“ (C 47) di Singapura. Diberi nama Seulawah RI, pesawat ini langsung bertugas untuk penerbangan antara Maguwo (Jogyakarta) dan Kutaraja (Aceh).

Penerbangan yang bersejarah terjadi di bulan Nopember 1948 sewaktu Wapres Dr. M. Hatta berkunjung di seluruh daerah-daerah Republik Indonesia di Sumatra demi memperkokoh semangat nasional pembela-pembela kemerdekaan Republik Indonesia yang bertahan melawan serangan Belanda.

Lalu, dari pesawat inilah lahir pesawat-pesawat lainnya. Pada akhir 1949, Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesian Airways.

Kini anak-cucu Seulawah menjadi ratusan Garuda Indonesia Airways yang setiap hari terbang berseliweran di udara. Menjadi sebuah maskapai kebanggan Indonesia yang tak hanya mengirimkan kabar gembira untuk Aceh, juga menerbangkan cerita nestapa yang tiada berujung ke tanah leluhurnya.

***

Bagi rakyat Aceh nama Seulawah menjadi simbol dan bukti pengorbanan rakyat Aceh untuk kemerdekaan Indonesia, yang begitu lama menunjukkan kesetiaannya terhadap persatuan nasional.

Namun kesetiaan itu berbalas luka untuk Aceh. Hingga kemudian melahirkan berbagai kekecewaan. Meletuslah perlawanan Daud Beureu-eh lewat DI-TII, kemudian Hasan Tiro melalui Gerakan Aceh Merdeka. Setelah diterjang bencana tsunami, barulah ada damai di Aceh. Lewat perjanjian damai dengan berbagai kemudahan untuk Aceh.

Kini damai itu mulai retak dan menyemai bibit pertikaian yang barangkali akan tiada berkesudahan. Tak lagi dengan Jakarta (pemerintah pusat), tetapi antar sesama rakyat Aceh yang terbelah dalam kepentingan politik. Jakarta yang diharapkan sebagai penengah, sampai kini belum menerbitkan sebuah kebijakan yang bisa menenangkan pihak yang bertikai.

Jika begini, maka wajarlah jika seniman Fikar W. Eda pernah menggoreskan sebuah puisinya "Rencong".

RENCONG

Siapa saja yang datang kami sambut dengan tarian
dan syair perjamuan pertanda kemuliaan

Siapa saja yang datang kami kalungi bunga
salam sepuluh jari menjadi sebelas dengan kepala

Siapa saja yang datang kami hadiahi gelar
sebagai saudara dan penghormatan

Berbilah-bilah rencong dengan sarung dan tangkai berkilap
tak lupa kami selipkan 
pertanda martabat dan keagungan

Betapa pedih hati kami
dari Jakarta 
kalian hujamkan mata rencong itu
tepat di jantung kami!

Jakarta, 1998

***

Dikutip dari Atjehpost.com, 20 November 2011

Tidak ada komentar: