Jumat, Januari 06, 2012

“Keude Kupi” Sebagai Rumah Multifungsi



TRADISI minum kopi, makan dan ngobrol di warung kopi bukan sebuah kebiasaan baru yang muncul akhir-akhir ini. Kebiasaan itu dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, terutama di kawasan pelabuhan dan pusat perdagangan. Meski pada saat itu sangat mungkin menu dan minumannya bukan kopi, tetapi sudah berlangsung kebiasaan nongkrong dan ngobrol utk “membunuh” waktu.

Lombard (2008:76) menulis bahwa Peter Mundy pada April 1637 dengan susah payah berhasil mencapai tempat berlabuh di Aceh. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu rebus. Warung-warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja.

Untuk sementara, catatan Peter Mundy pada April 1637 itu setidak-tidaknya bisa dijadikan dasar keberadaan sebuah ruang publik yang dikenal dengan warung atau rumah makan di wilayah Aceh. Catatan ini boleh jadi telah “mematahkan” sejumlah asumsi yang menyatakan keberadaan dan kebiasaan makan minum di warung muncul setelah Belanda “mengajarkan” tradisi minum kopi.

Memang, dan diakui bahwa Belanda mempunyai peran penting dalam membudidayakan tanaman kopi di Indonesia. Mereka telah memperkenalkan tanaman Kopi Arabika (coffea arabica L.) di Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Aceh, tepatnya di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, mereka mulai membangun perkebunan Kopi Arabika pada tahun 1924 di daerah Paya Tumpi. Kini, Dataran Tinggi Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah secara nasional menjadi kawasan tanaman Kopi Arabika terluas di Indonesia.

Menilik keberadaan dan fungsi warung kopi di Aceh, pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan fungsi lapau di Sumatera Barat. Menurut Pandoe dan Pour (2010:256) bahwa fungsi lapau menjadi pusat informasi. Sesama pengunjung lapau mengobrol soal macam-macam hal, mulai kehidupan sosial sampai “politik tinggi” dalam dan luar negeri. Bisa juga mempergunjingkan para pejabat, menganalisis sepakbola, atau membicarakan sinetron yang mereka tonton di televisi.

Interaksi manusia di lapau seperti yang ditulis Pandoe dan Pour persis sama dengan lalu lintas informasi yang terjadi di warung-warung kopi yang ada di Aceh. Demikian juga dengan topik pembicaraan para peminum kopi di Aceh, berkisar pada masalah kehidupan sosial, politik, sepakbola dan ajang berbagi pengalaman dibidang usaha dagang serta pertanian.

Pastinya, animo pengunjung warung kopi tidak mutlak disebabkan oleh rasa dan aroma kopi yang disajikan, tetapi lebih kepada keinginan untuk berinteraksi. Buktinya, sebagian besar warung kopi yang ada di Aceh hanya menyediakan minuman kopi berbahan baku kopi robusta. Padahal, bagi para “penikmat” kopi sejati, mereka pasti akan mencari warung kopi atau cafe yang menyediakan kopi arabica, karena aroma yang tajam dan rasanya yang “nendang.”

Fenomena ini makin mempertegas makna ngopi dalam tradisi masyarakat di Aceh. Aktivitas minum kopi adalah media interaksi antar masyarakat dari berbagai stratifikasi sosial. Fungsi warung kopi mulai bergeser, dari tempat minum menjadi ranah publik milik semua elemen masyarakat, tempat cangpanah, tempat bercengkrama, termasuk sebagai ruang hiburan. Secangkir kopi menjadi semacam e-mail dan password untuk izin menikmati suasana dan aktifitas orang di warung kopi itu.

Ibarat akun “jejaring sosial” twitter, warung kopi membolehkan siapapun mem-follow (bergabung) orang yang menjadi idola dan narasumbernya. Siapapun –apalagi jika sudah kenal– boleh nimbrung mendengar dan mengomentari pembicaraan si narasumber selama cangkirnya masih berisi kopi. Siapapun tidak dilarang untuk membayar harga kopi orang yang di-follow atau mem-follownya.

Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik multifungsi. Tempat minum kopi yang sejatinya berfungsi sebagai rumah aspirasi. Berbagai rumor, fakta dan data bergulir dari sana, bagai bola salju, menggelinding menjadi konsumsi publik. Di tempat ini pula rumor, fakta dan data itu, pada akhirnya kembali dalam bentuk feedback disertai komentar miring. Feedback berharga itu sangat memungkinkan diserap menjadi bahan dasar untuk menyusun sebuah kebijakan publik. [atjehpost.com]

*) Muhammad Syukri,  Pemerhati masalah sosial budaya, tinggal di Takengon

Tidak ada komentar: