Selasa, Januari 31, 2012

Kisah Panglima Prang Menolak Hidup Mewah

 “...Meunyoe mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh meugah keu lon... ( Kalau masih ada rumah warga kampung yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya )”.
–Abdullah Syafie-

Letusan senjata mengoyak hening Subuh di areal persawahan Alue Mon, Cubo, Kecamatan Bandar Dua, Pidie. Subuh itu, 22 Januari 2002, Teungku Abdullah Syafie dan pengawalnya turun ke Alue Mon. Rupanya, pergerakan sang Panglima Prang AGAM itu tercium pasukan TNI yang sedang mengintai.

Perang pun meletus. Laga ‘timah panas’ dari moncong senjata AK kontra SS1 dan M16 membahana memecah sunyi. Auuu... Jala menjerit. Kakinya kena tembak. Jala menangis. Kombatan GAM dari Panteu Breuh, Desa Abah Lueng ini terus saja merintih, menahan rasa sakit.

Almarhum Abdullah Syafie

Jala adalah nama panggilan untuk Jalaluddin, pengawal Tengku Abdullah Syafi’ei, akrab disapa Teungku Lah. Pertempuran antara pasukan pengawal Teungku Lah versus pasukan TNI dari Ton-2 Kompi Yonif Linud 330 yang dipimpin Serka I Ketut Muliastra semakin sengit.

Teungku Lah mengeluarkan peluru yang bersarang di kaki Jala. Lalu, Teungku Lah membubuhkan ie babah (air dari mulut) pada luka kaki Jala. “Bek moe lee,” kata Teungku Lah pada Jala. Jala merasakan kondisinya mulai membaik. Ia kembali menembak, membantu rekannya membalas gempuran pasukan pemerintah.

Tak lama berselang, tiba-tiba Teungku Lah kena tembak. Jala yang menempel Teungku Lah mencoba membantu Panglima Komando Pusat Teuntra Neugara Atjeh ini. Jala ingin memapah Teungku Lah untuk ke luar dari arena kontak tembak.

Bek (jangan),” Teungku Lah melarang. “Nyoe ka troh nyang lon lakee, ka troh watee nyang lon preh-preh (kini sudah tiba waktunya yang saya tunggu-tunggu)”.

Dalam kondisi sekarat, Teungku Lah memerintahkan Jala segera lari, menyelamatkan diri. Jala menolak, ia tidak ingin meninggalkan panglimanya. Teungku Lah kembali memerintahkan Jala untuk kabur. Jala akhirnya menurut, lari dari medan tempur.

Saat lari, Jala menemukan sebuah sumur. Dia masuk ke sumur itu, lalu menutup sumur dengan tumpukan jerami,” kata Puteh Binti Abbas,73 tahun, ketika ditemui The Atjeh Post di Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kamis 1 September 2011.

Puteh Abbas, dipanggil Nek Teh adalah mertua Teungku Lah. Ia mendengar cerita itu langsung dari mulut Jala tak lama setelah kejadian itu. Jala selamat setelah masuk ke sumur. Sedangkan Teungku Lah, meninggal di tempat. Dari foto yang diperlihat pasukan TNI setelah peristiwa itu, Teungku Lah tewas dengan luka menganga di dada.

Anak saya, Fatimah (istri Teungku Lah) yang sedang hamil tujuh bulan, bersama para pengawal Teungku Lah, juga tertembak dalam kejadian itu, mereka meninggal. Hanya dua orang yang selamat, salah satunya, Jala,” kata Nek Teh.

Usman Basyah, warga Desa Blang Sukon memperoleh informasi yang sama tentang kronologis meninggalnya Teungku Lah seperti yang diceritakan Nek Teh. “Teungku Lah, Fatimah, Muhammad dan Teungku Daud dimakamkan berdampingan. Yang lainnya (juga pengawal Teungku Lah) dikebumikan di kampung kelahirannya masing-masing,” katanya.

Makam Teungku Lah, Fatimah, Muhammad dan Tgk Daud berada di belakang rumah Tgk Lah. Saat ini ditempati Nek Teh, di Desa Blang Sukon. Makam tersebut sedang dipugar atas inisiatif Bupati Aceh Jaya Ir. Azhar Abdurahman, juga mantan kombatan GAM.

Saat Lebaran seperti sekarang, makam Teungku Lah ramai dikunjungi warga. Ada yang sekedar menuntaskan rasa penasaran, ada juga yang peulheueh kaoy atau melepas hajat.

***

Ziarah ke Makam Teungku Lah

Makam Teungku Abdullah Syafie dijaga sendirian oleh perempuan paruh baya berusia 73 tahun. Perempuan tua itu terbungkuk-bungku menyapu halaman lantai sebuah balai yang terletak tepat di belakang rumahnya. Posisi rumahnya tak jauh dari meunasah Desa Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Nek Teh, Mertua Teungku Lah

Puteh Binti Abbas, demikian nama perempuan 73 tahun itu. Ia biasa dipanggil Nek Teh. Dialah mertua almarhum Teungku Abdullah Syafi’ei, Panglima AGAM yang akrab disapa Tgk Lah. “Selama ini, Nek Teh sendirian yang merawat makam Teungku Lah,” kata Usman Basyah, 35 tahun, warga Desa Blang Sukon kepada The Atjeh Post, Kamis 1 September 2011.

Nek Teh mulai membentangkan tikar di balai beratap seng. “Balai ini dulunya berada di sana,” kata Nek Teh sembari menunjuk ke arah dekat empat makam yang berdampingan. Ketika makam mulai dipugar, balai pun harus pindah tempat.

Makam tersebut adalah makam Teungku Lah, istrinya, Fatimah, dan makam Muhammad Bin Ishak serta Teungku Muhammad Daud Bin Hasyim, keduanya pengawal Teungku Lah. “Beliau-beliau itu meninggal dalam kontak tembak di Alue Mon, kawasan pertanian padi,” kata Usman Basyah. Nek Teh mengangguk. Alue Mon, kata Usman, juga berada dalam Kemukiman Cubo.

Usman Basyah bilang, selain Muhammad dan Teungku Daud, ada tiga anggota GAM lainnya, meninggal dalam kejadian yang sama pada hari Selasa. “Tiga anggota GAM itu dikubur di kampung kelahirannya masing-masing,” kata Usman. Nek Teh kembali mengangguk. “Hanya dua pengawal Teungku Lah yang selamat dalam insiden itu,” katanya.

Usman tak ingat kapan persisnya pertistiwa itu terjadi. Namun, dari catatan yang ada, Teungku Lah bersama istri dan para pengawalnya meninggal dalam pertempuran pada Selasa 22 Januari 2002.

Tepat di ujung makam Teungku Lah, tampak sebuah guci kecil berselimut jaring warna ungu. “Dulu makam ini hanya dipagari dengan kayu setinggi leher orang dewasa. Itupun dibuat atas permintaan saya supaya tidak masuk hewan mengotori makam,” kata Nek Teh.

Pagar makam Teungku Lah, dulunya sangat memprihatinkan, sama sekali tidak layak,” sambung Usman.

Pagar makam itu, kata Usman, akhirnya dirobohkan setelah datang mantan kombatan yang saat ini menjadi Bupati Aceh Jaya. Dia adalah Azhar Abdurrahman. “Beliau (Azhar Abdurrahman) menangis saat melihat kondisi makam Teungku Lah,” kata Usman. Nek Teh mendukung penjelasan Usman.

Azhar Abdurrahman bukan sekadar menangis. Sang Bupati Aceh Jaya itu berinisiatif memugar makam panglimanya dengan bangunan yang lebih layak. “Awalnya, rencana Pak Bupati Azhar itu mendapat penolakan dari pihak GAM wilayah Pidie. Alasan mereka, biar orang di daerah ini (Pidie-Pidie Jaya) yang memugar makam Tgk Lah,” kata Nek Teh. Giliran Usman yang mengangguk.

Lalu, anggota GAM dari Matang Glumpang Dua Bireuen (daerah kelahiran Teungku Lah) yang datang bersama Pak Bupati Azhar langsung menyatakan dengan tegas, biar Azhar yang memugar. Sebab sudah sekian lama tidak ada yang memberi perhatian untuk makam Teungku Lah,” tambah Nek Teh.

Pada Juni 2011, Bupati Azhar Abdurrahman merealisasikan rencananya itu. Sekarang, makam Teungku Lah sedang dipugar. Tiang beton berdiri kokoh menopang kerangka atap. Luas bangunan tersebut 8 x 12 meter. “Mulai dibangun sekitar sebulan lalu,” kata Nek Teh, diiyakan Usman.

Sebelah timur bangunan makam Teungku Lah, ada balai. Di belakang balai terdapat hamparan sawah. Sebelah barat makam tampak rumah-rumah warga. Di bagian utara, ada kebun kakao. Sedangkan sebelah selatan makam, rumah almarhum Teungku Lah yang saat ini ditempati Nek Teh.

Tepat di samping kanan depan bangunan makam, terpampang papan informasi. Tertulis di papan itu, “Kru Seumangat Ateuh Pembangunan Makam Al Syahid”. Di bawah kalimat itu ada gambar Teungku Lah yang memakai seragam loreng lengkap dengan baret hijau. Di bawah gambar tersebut, tertulis, “Panglima Prang Acheh Tgk Abdullah Syafi’ei”.

* * *

Menolak Dibangun Rumah Mewah

Alm. Abdullah Syafie

Teungku Lah telah tiada. Sembilan tahun berlalu. Namun karakter sosok Panglima Angkatan GAM kelahiran Matang Glumpang Dua, Bireuen itu masih melekat erat dalam ingatan warga Blang Sukon, Kemukiman Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Desa Blang Sukon berjarak sekitar tujuh kilometer dari Jalan Medan-Banda Aceh, kawasan Keude Paru, Kecamatan Bandar Baru. Saat ini jalan penghubung Keude Paru ke Desa Blang Sukon telah beraspal. Suasana kawasan perbukitan itu teduh, nyaman. Pepohonan di pekarangan rumah warga tampak rindang.

Sebagian rumah berkonstruksi permanen. Dari bangunannya bisa dipastikan rumah-rumah itu belum lama dibangun. Sisanya, masih rumah-rumah berkonstruksi kayu, peninggalan masa lalu, termasuk rumah almarhum Teungku Lah.

Suatu waktu, saat Teungku Lah masih hidup, pernah ada yang minta untuk membangun rumah beliau, rumah besar. Tapi Teungku Lah menolak,” kata Usman Basyah.

Kata Usman, ketika itu Teungku Lah dengan tegas menyatakan, “Meunyoe mantong na rumoh ureung gampong nyang hana layak tinggai, bek peugot rumoh meugah keu lon (kalau masih ada rumah warga desa yang tidak layak huni, jangan bangun rumah megah untuk saya)”.

Makanya, Usman melanjutkan, sampai Teungku Lah meninggal, rumahnya masih berkonstruksi alakadar. Jauh dari kesan mewah.

Semasa memimpin perang gerilya, Teungku Lah juga banyak menerima kedatangan pihak-pihak yang membawa uang berlimpah. Teungku Lah langsung bertanya, “Uang itu untuk siapa”. Yang membawa uang menjawab, “Uang untuk nanggroe”.

Mendengar itu, Teungku Lah menyatakan, “Kalau untuk nanggroe (biaya perjuangan GAM) jangan kasih ke saya, serahkan kepada yang berhak pegang uang itu”.

Begitulah sifat Teungku Lah, beliau tidak mau menerima yang bukan haknya,” kata Usman Basyah. Nek Teh membenarkan.

Usman Basyah bilang, “Meunye mantong na droe geuh Teungku Lah, mungken Aceh uroe nyoe ji-oh leubeh jroh (kalau masih ada Teungku Lah, mungkin Aceh hari ini jauh lebih baik)”.

Dalam pandangan Usman Basyah, Nek Teh dan warga lainnya, Teungku Lah betul-betul seorang panglima, pemimpin yang memberi contoh teladan kepada pasukannya. Juga sangat peduli dengan nasib masyarakat miskin.

Tak heran, banyak kalangan di Aceh merindukan sosok pemimpin seperti Teungku Lah. Bahkan teramat rindu.[]
***

Minggu, Januari 29, 2012

Di Menit Ke 45

“Hha..hha..hha..” terdengar suara desahan nafas dari mulut Lukas yang sedang ngos-ngosan berlari dalam rangka pengambilan nilai lari estafet. Pukul 09:35 WIB cuaca lagi berada pada titik terbaik, sinar matahari bagaikan jarum-jarum yang menghujani tubuh, langit yang begitu menyilaukan seperti bidadari ingin turun dari singgasananya untuk melihat bumi. Saat semuanya mengambil posisi untuk lari, Lukas bersiap mengambil ancang-ancang dan segera melihat jam tangannya. Itulah kebiasaan yang selalu dilakukan Lukas setiap ingin melakukan sesuatu, bukannya iy Mr. Perfect atau Mr. On Time tapi, hanya elergi dengan menit ke 45 karena pada menit itulah selalu terjadi hal yang aneh dalam hidupnya.


09:40 WIB, “bersedia….siiaap…yaa” seketika semua pelari pertama berlari bersamaan. Semua perempuan bersorak menyemangati teman-temannya yang sedang berlari demi sebuah nilai dan tibalah saat dimana tongkat estafet akan diberikan pada Lukas yang bersiap sambil melihat jamnya itu. Tepat pada pukul 09:43 WIB Lukas menerima tongkat itu dan berlari secepat mungkin untuk mencapai garis finis sebelum menit ke 45 namun, beberapa saat sebelum menggapai garis finis tiba-tiba 09:45 WIB “bruk..” tanpa sadar tongkat estafet terlepas dari tangan Lukas. “yah..yah..yah… akhirnya menit ke 45 tak menghalangiku tuk menjadi sang juara, akhirnya ^_^…” kesenangan terpancar dari mulut Lukas. 09:50 WIB, “baiklah ankku sekalian, yang jadi juaranya adalah kelompoknya Lukas..” “hore..” lukas yang menyelan perkataan pak guru. “tapi..tapi, karena saat mencapai finis tanpa memegang tongkat jadi, kalian dianggap tak memasuki finis”. “yah…” dengan bersamaan teman lkas berteriak. “makan tuh menit ke 45 mu yang bikin sial itu Luk”. “huff… iy..iy.. nh gue ambil celaka-celaka skalian dengan percikan-percikannya yang mengenai kalian, Puass…???” kata Lukas yang sedikit emosi.



08:10 petang, Lukas lagi asyik-asyiknya telponan dengan dengan seorang gadis yang menarik hatinya yang dipanggilnya Ipe. Ditengah malam yang berselimutkan kegelapan, di tirai langit yang berhiaskan bintang-bintang, dan diantara jendela mungil Lukas larut dalam pembicaraan namun, “tiiit..tiiit..tiiit..tiiit” sambungan telepon terputus, seperti biasanya, pada menit ke 45 panggilan akan terputus jadi, bagi mereka berdua itu adalah hal yang lumrah. Tanpa canggung Lukas kembali menelpon sampai menit ke 45 berikutnya tiba.
07:13 pagi, saat mentari menyapa dengan cahayanya yang hangat dan langin yang terlihat serasi bersama awan yang berlarian di angkasa, Lukas telah bersiap tuk berangkat ke sekolah ditemani senyuman yang berharap agar tak banyak hal yang nyebelin pada menit-menit ke 45 hari ini. Belum beberapa saat setelah ngucapin kalimat itu, mata yang tak berdosa Lukas melihat sesuatu yang memacu adrenalin dan buat penasaran. Matanya tak sengaja melihat segerombolan orang yang memakai pakaina formal memasuki salah satu bank yang berada 2 blok dari sekolahnya. Namun, bukan pakaiannya itu yang buat penasaaaran tapi, apa yang ada di dalamnya itu yang membuat Lukas bertanya-tanya. Gelagat mereka itu mengingatkan akan film action yang Lukas nonton beberapa jam lalu sebelum iya pergi ke sekolah. “sikap mereka seperti para bandit-bandit texas yang masuk ke kasino untuk merampok, apalagi mereka memakai rompi anti peluru dan mengantongi pistol dan memasukkan AK 47 dalam tas raketnya”. Dugaan Lukas. Karena penasaran, akhirnya Lukas mengikuti orang-orang itu dan iya melihat salah satu dari mereka bergerak ke arah lain sambil membawa sebuah tas besar, karena Lukas lebih mencurigai isi tas itu makanya, iya dengan cegatan mengikutinya. Teryata dugaannya benar, orang itu menaruh bom pada 4 pilar utama gedung. 



Pukul 08:21 WIB, dengan hati yang sedikit ragu, akhirnya Lukas memberanikan diri untuk menyabotase rencana para bandit-bandit itu. Iya berusaha mendekati meja kasir untuk bisa mengambil telpon dan menelpon polisi. “Duk..duk..duk..duk..” dengan hati yang dek-dekan iya berusaha agar tidak ketahuan saat berbicara namun, baru saja telpon mau diangkat, salah satu dari bandit itu datang tuk mengontrol area sekitar gedung. Akhirnya Lukas berlari ke ruangan lain tapi, ternyata tempat yang dimasukinya adalah tempat penyekapan para sandera, “upps…!!! Bisa-bisa tembus nih kepala kalau ketahuan, hati-hati Luk..hati-hati…”. Lukas segera bersembunyi di bawah meja yang ada di dekatnya. “treng..treng..treng..” suara alarm jam berbunyi. “adduh…!! Nih bener-bener sial nih menit ke 45” katanya dalam hati. “bos, sekarang sudah waktunya kita pergi”. Kata seseorang dari mereka.
08:33 WIB, “astaga.. kelihatannya harus memakai trik dari Arnold (actor film action kesukaan Lukas), cepat, tepat, akurat, dan kuat”. Dengan percaya diri Lukas keluar dari persembunyiaannya dan berlari dengan cepat keluar dari ruangan itu sambil mengambil sebuah heandphone yang tergeletak di lantai. “huff, ayoo Luk kamu pasti bisa, 911 aku menghubungimu..” berusaha menyemangati dirinya. Sambil menelpon polisi iya terus berlari sambil melihat jamnya yang telah menunjukkan pukul 08:38 WIB. “wadduh…!!! Keberuntunganku hampir habis nih, aku tidak mau mati di tempat seperti ini, saatnya rencana B..” keyakinan Lukas yang telah ngos-ngosan berlari. Rencana B adalah bersembunyi ke tempat yang tak mungkin orang lain bisa menemukanmu. Itulah yang sedang iya kerjakan dan akhirnya iy menemukan juga tempat yang tepat yaitu, di fentilasi udara. “hehehehehe…  tak sia-sia gue nonton film action terus.” Membanggakan diri. “anak sialan, cepet banget tuh larinya, itu manusia apa monyet..???” kata bandit yang mengejarnya.


08:43 WIB, terdengar sirine mobil polisi telah meraba telinga Lukas dan setelah merasa aman iya keluar dari fentilasi dan iya segera ketempat bom yang tinggal beberapa menit lagi. Setelah sampai di tempat itu, Lukas baru sadar bahwa apa yang di hadapannya itu adalah bom plastik yang paling berbahaya. “waddduh…!!! Salah sedikit bisa rugi 3 M nih orang tua, huff..” cemas Lukas. Mengingat cara Arnold mematikan bom dalam filmnya, akhirnya Lukas mencoba untuk memotong kabelnya. “ngeeng” suara air liur yang tertelan karena kecemasan. Ada berbagai macam kabel yang ada di bom itu dan salah sedikit aja bisa memicu ledakan lainnya, beberapa menit Lukas bediri di tempat itu namun, iya masih berfikir, kabel apa yang harus iya potong. “tuff..tufff” suara senjata api yang saling beradu. Karena kaget melihat suara itu, tangannya tak sengaja memotong sebuah kabel yang membuat waktunya menjadi 5 detik pada Jam bom tersebut. “addduh..!!!! Selamat tinggal ayah, selamat tinggal ibu, selamat tinggal orang yang menyayangiku, selamat tinggal orang-orang yang membenciku dan selamat tinggal kesialan.” Kepasrahan Lukas. 5 4 3 2 1… “tidakk..” teriak Lukas sambil menutup telinganya.


08:45:10 WIB, “loh koq tidak meledak..???” Lukas keheranan. Iya baru tersadar bahwa pada saat kabelnya terpotong tepat pada menit yang ke 45. “Yes.. akhirnya menit ke 45 telah membawakan kemurahan hatinya padaku…,,, ALHAMDULILLAH.. >_< ,,!!!”. Lukas pun segera melarikan diri dari tempat itu sebelum ada yang melihatnya dan segera kesekolahnya. Walaupun terlambat tapi, iya telah membuat menit ke 45 menjadi sahabatnya… ^_^

Nyanyian Sahabat..

Sudah setengah jam Fia menunggu sahabatnya di bangku taman. Dengan perasaan tak menentu Fia tetap menunggu dan nggak lama lagi orang yang dinanti telah tiba.
“Put, lo kemana aja sih lama banget gue pikir lo nggak dateng,” kata Fia.
“Ya maafin gue datengnya terlambat, di jalan motor gue mogok,” kata Putri dengan menunjuk motornya.
“Ya deh nggak papa Put, yang penting lo dateng.”
“Emang ada apa sih, kok kayaknya penting banget?” tanya Putri heran.
“Put, gue baru dapet kabar dari temanya Raffi katanya dia bakal pindah kuliah ke Samarinda ngikut kakaknya,” kata Fia dengan wajah kecewa.
“Kok gitu .Apa dia nggak sayang lagi sama lo. Maaf Fi, gue keceplosan,” kata Putri.
“Terus gue harus gimana? Apa gue harus berhubungan sama Raffi dengan jarak jauh. Samarinda itu jauh banget Put?” kata Fia dengan wajah bingung.
“Ya gak papa lagi Fi, toh dia kan juga punya alasan,” lanjut Putri seraya menduduki kursi taman itu.
“Put, gue balik duluan ya, Thank’s Put saran lo?” kata Fia sambil berlari menuju sepeda motornya.
“Yah Fia, gue baru aja duduk belom ada semenit. Mending buka account di twitter aja deh. Hehe,” kata Putri dengan membuka laptop yang dibawanya.
Di malam hari yang sepi. Tidak ada sms atau pun telpon dari sang kekasih. Fia terus memandangi layar HP-nya berharap ada tanda-tanda Raffi memberi informasi. Namun itu hanya harapan semata. Fia dengan jengkelnya menekan tombol-tombol lalu meleponya.

“Kenapa sih HP lo nggak aktif?” Fia bergumam dengan jengkelnya.

Satu jam telah berlalu. Malam terasa semakin larut. Tak lama HP Fia berbunyi.
“Halo Raf, kenapa lo matiin HP lo tadi? Apa lo udah nggak sayang lagi sama gue?”
“Fi, ini gue Putri, lo jangan terlalu mikirin Raffi deh. Emang dari tadi Raffi belum ngabarin lo ya?” tanya Putri.
“Belum Put, mungkin dia udah nggak peduli sama gue lagi.”
“Mungkin dia terlalu sibuk di sana, sampai nggak sempet ngabarin lo. Mending lo jangan terlalu mikirin itu deh nanti lo sakit lagi,” kata Putri menghibur.
“Oke Put.”
“Udah cepet gih sono tidur, besok kan ada kuis nanti lo telat lagi. Lo kalau tidur kan kayak kebo?” ledek Putri.
“Ah, lo tuh tau aja deh Put? Lo ada dimana-mana gitu?” kata Fia tersenyum.
 





Pagi hari yang cerah. Badan Fia terus menggigil kedinginan. Dengan demam yang cukup tinggi membuatnya tidak bisa berangkat kuliah. Jam dindingnya menunjukkan pukul 08.45 pertanda limabelas menit kuis akan di mulai. HP-nya yang tergeletak tiba-tiba bergetar. Fia harap itu Raffi.
“Halo…,” jawab Fia dengan suara yang lemah.
“Fi, lo kemana aja sih? Gue cari-cari kesono kemari nggak ada juga. Kuis mau mulai nih?”, tanya Putri.
“Put, gue hari ini absen. Asma gue kambuh lagi,” jawab Fia dengan suara yang hampir hilang.
“Gue anterin lo ke rumah sakit ya Fi?”, tawar Putri dengan cemas.
“Nggak usah Put. Lo ikut kuis aja. Di sini kan ada Bibi,” jawab Fia yang hampir pinsan.
“Ya udah deh. Jaga kesehatan lo aja ya jangan sampai ngedrop. Gue masuk kelas dulu ya,” jawab Putri cemas.
“Iya Put.”
Pulang kuliah Putri terburu-buru menuju rumah Fia. Dengan hati yang cemas Putri berharap keadaan Fia lebih membaik dari sebelumnya.
“Fi, Fia…!!!,” teriak Putri mengetuk pintu.
“Non cari siapa?”, tanya Bibi.
“Aku cari Fia Bi, ada?”.
“Maaf non, non Fianya dilarikan ke Rumah Sakit Mutiara Hati tadi pagi oleh keluarganya.”
“Memang parah ya Bi?, di rawat di kamar apa?” tanya Putri.
“Iya non, non Fia tadi pingsan dan sekarang di rawat di kamar Melati.”
“Terima kasih ya Bi,” jawab Putri terburu-buru menuju Rumah Sakit.
Setibanya di Rumah Sakit, Putri langsung menuju kamar Melati, tempat sahabatnya di rawat.
“Fia…!!!”
“Put, lo kok tau kalau gue di sini?” tanya Fia dengan suara lemah.
“Gue tadi ke rumah lo. Terus Bibi yang kasih tau kalau lo di sini. Jadi gue ke sini Fi,” jawab Putri sedikit lega.
“Thank’s ya Put, lo dah dateng nemenin gue di sini.”
“Lo kan sahabat gue Fi. Lo gak papa kan? Lo sakit apa sih?” tanya Putri.
“Gue udah baikan kok Put, lo nggak usah khawatirin gue kayak gitu. Gue hanya sakit asma Put.”
“Lo bilang sakit asma? Kok sampai kayak gini? Bilang sama gue yang sebenernya Fi?”
“Fia mengalami serangan jantung. Dokter bilang umur Fia nggak lama lagi. Kita di sini hanya bisa berdo’a,” jawab Mama Fia meneteskan air mata.
Sekejab air mata mengalir dari wajah manis Putri.
“Lo kenapa sih Fi nggak dengerin omongan gue?”
“Gue nggak papa Put. Lo jangan khawatir gitu. Put, lo mau enggak nyanyiin lagu persahabatan kita, gue pengen denger untuk yang terakhir.”
“Iya, tapi lo jangan bilang ini lagu terakhir yang lo denger,” jawab Putri.
Kebersamaan janganlah pernah usai
Sedih atau senang
Say hello don’t say good bye
Percaya padaku semua akan berlalu
Genggam tanganku
Hapuslah air matamu…
Putri menyanyikan lagu persahabatanya untuk Fia dengan meneteskan air mata. Perlahan Fia menutup kedua matanya.
“Fi, lo enggak papa kan?”, tanya Putri.
“Nggak, jangan berhenti menyanyikan lagu itu Put,” kata Fia dengan tersenyum.
Berhentilah manyun
Mukamu jadi culun
Mandi atau belum
Berikan aku senyum
(ost. SM*SH-Selalu Bersama)
Lagu yang di nyanyikan Putri dengan suara merdunya sudah usai di nyanyikanya.
“Fi…!!!”
“Sayang…,” Mama Fia panik memanggil dokter.
“Fi, lo harus sadar Fi, lo jangan pergi tinggalin gue Fi. Gue nggak mau kehilangan sahabat seperti lo Fi?” kata Putri juga panik.

Dokter datang untuk memeriksa Fia. Tak lama lagi dokter menemui keluarga yang menunggu di depan ruang ICU.
“Maaf sekali, Fia sudah tidak bisa tertolong lagi. Kita di sini hanya bisa mendo’akan agar Fia di terima di sisi-NYA.”
“Fia……!!!!” teriak Putri.
Putri menyaksikan tubuh sahabatnya yang terbujur dingin. Sejak sahabatnya meninggalkanya, Putri hanya bisa mengenang lagu itu sepanjang hari. Dan tak lama setelah kematian Fia, Putri mendapat kabar bahwa Raffi kekasih Fia di Samarinda tidaklah pindah kuliah melainkan membaringkan tubuh tak bernyawanya di sana. Putri hanya menelan kesedihanya karena ditinggalkan oleh dua sahabatnya itu.