Senin, Desember 12, 2011

Asal - Usul Bahasa Indonesia

Bahasa Melayu diketahui sebagai akar dari lingua franca Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana, dalam bukunya Sedjarah Bahasa Indonesia, mengutarakan bahasa Melayu memiliki kekuatan untuk merangkul kepentingan bersama sehingga untuk dipakai di Nusantara.

Menurut Alisjahbana, persebarannya juga luas karena bahasa Melayu dihidupi oleh para pelaut pengembara dan saudagar yang merantau ke mana-mana. "Bahasa itu adalah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh di kalangan penduduk Asia Selatan," tulisnya. Faktor lain, bahasa Melayu adalah bahasa yang mudah dipelajari.
Pada era pemeritahan Belanda di Hindia, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua dalam korespondensi dengan orang lokal . Persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda pun semakin ketat. Gubernur Jenderal Roshussen mengusulkan bahasa melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat.

Meski demikian, ada pihak-pihak yang gigih menolak bahasa Melayu di Indonesia. Van der Chijs, seorang berkebangsaan Belanda, menyarankan supaya sekolah memfasilitasi ajaran bahasa Belanda. JH Abendanon yang saat itu Direktur Departemen Pengajaran, berhasil memasukkan bahasa Belanda ke dalam mata pelajaran wajib di sekolah rakyat dan sekolah pendidikan guru pada 1900.
Akhirnya persaingan bahasa ini nampak dimenangkan oleh bahasa Melayu. Bagaimanapun bahasa Belanda ternyata hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang. Kemudian di Kongres Pemuda I tahun 1926, bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangakan sebagai bahasa dan sastra Indonesia.

Pada Kongres Pemuda II 1928, diikrarkan bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda. James Sneddon, penulis The Indonesia Language: Its History and Role in Modern Societyterbitan UNSW Press, Australia mencatat pula kalau butir-butir Sumpah Pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu Tinggi. Sneddon menganalisis dari penggunakan kata 'kami', 'putera', 'puteri', serta prefiks atau awalan men-.

20 Oktober 1942, didirikan Komisi Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun tata bahasa normatif, menentukan kata-kata umum dan istilah modern. Pada 1966, selepas perpindahan kekuasaan ke tangan pemerintah Orde Baru, terbentuk Lembaga Bahasa dan Budaya di bawah naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan. Lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional pada 1969, dan sekarang berkembang dengan nama yang dikenal, Pusat Bahasa.

Tanggung jawab kerja Pusat Bahasa antara lain meningkatkan mutu bahasa, sarana, serta kepedulian masyarakat terhadap bahasa

Sabtu, Desember 10, 2011

Sebuah Cerpen: "Tarian Tsunami"



Langit gelap, matahari seakan tertimbun awan, unggas-unggas laut terbang ketakutan, dan penduduk gampong berlari-lari dengan wajah pucat. Aku berdiri dari tempat dudukku dan menatap ke jalan besar, penduduk desa berlari ketakutan sambil berteriak “Ie...ie...ie...”.

Air? Dari mana? tanyaku dalam hati. sekian detik kemudian aku melihat gulungan air berwarna hitam pekat yang tingginya lebih dari 5 meter sedang mengejar penduduk desa. Tubuhku gemetar ketakutan. “Apa ini ?” tanyaku sendiri.

Dan belum diriku sendiri sempat menjawab, gulungan air di hadapan menari dengan binalnya, aku berlari untuk menghindari air yang sedang bergulung-gulung, melibas apapun yang ada di hadapannya. Aku merasakan nafas sudah di ujung mulut, tidak lagi sanggup menghirup nafas lagi. Jantungku berdegup hebat, aku merasakan kematian sedang merambat pelan. Air bah hitam pekat itu mendekat, penduduk desa yang tadi kulihat berlari sudah tertelan, kini giliranku.

Aku sudah tak sanggup, pasrah sudah jika harus di telan dan mati di detik ini juga. 
Arghhh....,” suaraku tertelan sendiri.

***

Entah berapa saat, yang kutahu kini kilau matahari berkilatan melewati mataku. Aku merasakan nafasku berat, dadaku seperti menyesak dan bukan kepalang nyeri pada kakiku. Kakiku ngilu. Sekuat tenaga aku membuka mataku, seorang laki-laki setengah baya menepuk pipiku, entah dari mana dia datang.

Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu, bajunya compang-camping wajahnya kelelahan seperti habis dikejar ombak yang sama dengan yang mengejarku tadi. Aku membalasnya dengan anggukan pelan.

Lelaki itu tersenyum, lalu pergi meninggalkanku. Aku bangkit dan berusaha bersandar di sebatang pohon. Aku menatap kesekitar. Ya Allah apa yang membawaku kedepan masjid Baiturahman? Seingatku, tadi aku sedang berdiri di Pantai Lhoknga sambil menikmati sebatang rokok.

Aku menatap kesekitar, semua yang ada di hadapanku hancur lebur. Bangunan hancur dan hanya tersisa kayu-kayu yang tercerabut dari simpul-simpulnya, mobil teronggok ringsek, dan banyak mayat bergelimpangan. Hanya masjid Baiturahman yang masih berdiri kokoh, aku bisa melihat banyak sekali orang yang berdiri didalam mesjid sambil menangis.

Di pelataran masjid kepiluan lebih menyayat lagi. Mereka berteriak-teriak memanggil nama seperti sedang mencari keluarganya, sesekali mereka berteriak, mengacak-acak rambut, dan tersungkur pada kenyataan pahit. Semua hancur, lebur.

Seorang anak laki-laki menangis tersedu, matanya nanar dan menatapku sendu. Aku menitikkan air mata. Aku melambaikan tangan dan mengajaknya duduk di sampingku.

Keuno” panggilku. Jarak antara aku dan anak itu tidak jauh, hanya sekitar 2 meter. Jelas sekali isak tangis anak itu menyayat hati.

Anak kecil itu menggeleng lemah. Tangannya gemetar, bajunya bertuliskan “Aceh Loen Sayang” sudah robek, umurnya sekitar 4 tahun, rambutnya acak-acakan.

Jak keuno, bek takot” panggilku lembut. Anak itu memandangku ragu, sejenak dia menunduk, lalu berdiri, lambat-lambat berjalan duduk di sampingku. Tangisannya semakin kuat, aku memeluknya lembut.

Abang, saya takut,” ujar anak itu pelan. Aku menahan sesak dan memeluknya. Aku mungkin tidak pernah kenal anak ini, tapi kami sama-sama sedang dalam ketakutan sangat.

Jangan takut, ada abang di sini. Siapa namamu?

Tarmizi, ditulis pakai huruf Z tapi kawan suka memanggil Iji, dengan huruf J.

Aku tersenyum menatap bola matanya yang bulat dan memancarkan sinar polos. Aku merangkulnya.

“Saya Ibral,” Ujarku pelan.

Iji menghapus air matanya. Aku menatap ke sekeliling sambil mengingat-ingat bagaimana aku bisa selamat dari gulungan air yang begitu ganas. Aku memejamkan mata, yang kuingat hanyalah penggalan-penggalan kejadian yang teracak.

Kilatan cahaya dari air yang mengerling tertimpa matahari. Setelah air hitam pekat itu menghantam tubuhku, aku seperti kehilangan kesadaran sekian detik. Yang dirasa hanya kegelapan yang pekat, pusing, dan tidak bernafas.

Menit berikutnya aku merasakan tubuhku terhantam macam-macam benda. Aku tidak ingat benda apa namun sepertinya tubuhku menghantam panci, terlilit kain, terbentur sepatu, dan sepertinya kakiku tergores seng tajam.

Ketika kehabisan nafas, aku mencoba mendorong tubuhku untuk naik ke atas. Sekuat tenaga aku berenang walaupun dengan energi sisa-sisa yang nyaris tak cukup lagi sekedar untuk tersenyum. Waktu itu aku sempat melihat sinar matahari ditengah gelapnya air pekat.

Namun tiba-tiba kaki kananku seperti ditarik oleh seseorang dari bawah. Aku tidak sempat lagi melihat siapa pelakunya, tubuhku terseret lagi kebawah. Kuku-kukunya yang panjang mencakar dalam kakiku, aku hanya membuat perkiraan, orang di bawahku adalah perempuan.

Dalam keadaan takut kakiku berontak, diriku meronta untuk bisa hidup, kakiku menendang dengan segala macam jurus. Tangan yang menarik kakiku mulai melemah, sejurus dengan itu kaki kiriku seperti menginjak kepala manusia. Sepertinya kepala dari orang yang menarik tanganku. Refleks aku menginjak kuat kepala manusia itu untuk mendorong tubuhku naik lagi kepermukaan air.

Tangan yang memegang kakiku terlepas, badanku terdorong ke atas. Aku tidak lagi memperdulikan orang yang baru saja kuinjak kepalanya. Aku harus bertahan hidup, gumam hatiku waktu itu.

Setelah itu aku betul-betul kehilangan kesadaranku, aku tidak lagi bisa mengingat apapun. Hingga akhirnya aku sadar terlempar sejauh ini entah hanya dalam berapa detik sudah teronggok lemah di depan mesjid Baiturahman.

Abang..” Panggil anak kecil yang sedari tadi ternyata menatapku yang sedang melamun.

Ya

Haus” ujarnya pelan.

Aku menatap ke sekeliling dan mencoba untuk bangkit. Ngilu di kakiku kian menyayat, aku ambruk. Iji memelukku.

Sudah abang, tidak usah cari minum, Iji tidak haus lagi, Iji jangan ditinggal sendiri.

Hatiku teriris. Aku kembali duduk dan memeluk bocah kecil ini. Aku memang tidak akan kemana-mana. Tidak sampai Tuhan menggariskan nasib yang berbeda di antara aku dan Iji. Iji memelukku erat sekali.

Abang tidak kemana-mana Iji,” Bisikku lirih.

Iji menatapku, bola matanya menatap dalam.

Ibu juga bilang seperti itu waktu lari menghindari air tadi bang, Ibu menyuruh Iji pegang erat tangannya. Tapi airnya keras bang, tangan ibu lepas. Nanti kalau ada air datang lagi, peluk Iji ya bang, yang keras, jangan sampai lepas” Ujar Iji, aku melihat garis takut dari matanya.

Iya Iji, abang akan peluk erat

Kami berdua, duduk dalam diam di menit-menit berikutnya. Kami tidak lagi butuh kata-kata untuk saling berbagi ketakutan kami.

Tarian Tsunami yang binal sudah usai. Senja dikejauhan bersungut muram. Disekeliling sisa air turut lunglai, berwarna keperakan tertimpa cahaya senja sore ini. Sebuah kilatan senja yang mulai terbenam membayang sebuah wajah. Jauh di dasar hatiku tiba-tiba ada rasa getir menyelimuti, apa perempuan yang tadi memegang kakiku masih hidup? Atau dia masih menari larut dalam tarian Tsunami entah di pusaran yang mana? Entah lah.

Aceh Rayeuk,” kata iji. Aku terhenyak. Iji seperti menjawab kegelisahanku, dibalik ini ada kebesaran yang tidak bisa diungkap lewat bahasa mana pun; Kebesaran Tuhan.

Ya”, balasku. “ACEH RAYEUK” kuharap memang kami akan tetap menjadi orang Aceh yang berjiwa besar.

ASAL MULA KONFLIK ACEH

Mungkin sudah digariskan, Aceh menjadi daerah konflik sepanjang masa. Hal ini terlihat dari sebuah buku karangan Anthony Reid, seorang ahli sejarah Asia Tenggara yang pernah belajar di Selandia Baru dan Cambridge. Dalam buku yang diberi judul “Asal Mula Konflik Aceh” itu disebutkan bahwa Aceh sudah bergejolak dalam konflik sebelum bergabung bersama Indonesia hingga akhir abad 19, saat Aceh ditetapkan menjadi salah satu wilayah Kesatuan Republik Indonesia, pun Aceh dalam konflik.

Menurut Reid, dalam buku itu, jika pada tahun 1870-an, orang Aceh pernah menjadi korban agresi Belanda dan realpolitik Inggris, selanjutnya Aceh juga menjadi korban tak berdosa dari negara yang merangkulnya menjadi sebuah wilayah kesatuan republik. Tak cukup sampai di situ, kekaguman Reid, yang saat ini menjadi Direktur Asia Research Intitute di National of Singapore, mengatakan bahwa Aceh sebagai korban tak bersalah juga harus mengalami derita setelah diamuk gelombang tsunami.

Mungkin, anggapan bahwa Aceh adalah laboratorium percobaan memang tepat sekali dan sebagai wadah percobaan, Allah swt. pun melakoni itu. Lihat saja, gejolak kekacauan di Aceh belum pudar hingga sekarang. Jika zaman indatu Aceh dicoba dengan perang melawan kaphé Beulanda, setelah Belanda angkat kaki dari Bumi Fansuri ini, perang tetap berlanjut. Perang cumbok hingga pemberontakan DI/TII merupakan percobaan demi percobaan untuk Aceh. Setelah merdeka pun, perang masih juga ada. 

Kemudian, Aceh dicoba melalui metode baru, yakni air laut naik ke darat. Pasca-air laut naik, pun kenyataannya konflik masih juga belum berakhir di Bumi Iskandar Muda ini. Masalah pembagian bantuan kepada korban bencana saja, tetap menimbulkan konflik. Hal itu masih ada sampai sekarang. Demikian hebatnya Aceh dalam konflik hingga daerah ini pun mendapat gelar sebagai laboratorium percobaan atau mungkin pula sebagai laboratorium konflik, sehingga Indonesia yang mengakui Aceh sebagai salah satu wilayah kesatuannya, pun ikut-ikutan menggelar percobaan di Aceh. 

Percobaan ala Indonesia itu sangat jelas dengan beberapa ketetapan dan kebijakan untuk Aceh semisal dicoba beri julukan daerah istimewa, lantas dicoba dengan kebijakan syariat Islam, mungkin pula penerapan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) juga salah satu percobaan Indonesia apakah Aceh mampu mengelola daerahnya atau tidak.

Kendati mengalami gejolak percobaan panjang dan berliku, bermula konflik di Aceh, menurut buku Reid ini, Aceh tidak pernah menjadi pemberitaan utama dunia. Melatarbelakangi anggapan tersebutlah, Reid akhirnya memutuskan untuk mengadakan penelitian tentang Aceh. Penelitian tersebut dirangkumnya menjadi sebuah disertasi pendidikannya saat di Cambridge University. Disertasi doktoral itu kemudian dijadikannya sebuah buku bertajuk “Asal Mula Konflik Aceh”.

Laiknya sebuah disertasi, data dan fakta dalam buku ini juga dapat dijadikan sebagai pembenaran terhadap kisah panjang konflik di Aceh. Mulanya disertasi tersebut masih dalam bahasa Inggris. Agar dapat dibaca oleh bangsa Melayu pada umumnya dan Indonesia (Aceh ) khusunya, disertasi tersebut diterjemahkan oleh Masri Maris dan diterbitkan oleh Yayasan Obor. Penerjemahan disesuaikan dengan kondisi realitas yang ada. Hal ini diakui langsung oleh Masri dalam pengantarnya terhadap buku tersebut. Kendati demikian, teks asli dari disertasi Reid masih utuh, sebab ia diterjemahkan dengan utuh. “Kecuali judulnya,” tulis Masri.

Buku setebal 372 halaman itu juga dilengkapi dengan lampiran foto-foto sejarah Aceh masa lampau, data statistik penduduk Belanda di Aceh semasa menjajah daerah ini—baik yang tewas dalam perang maupu karena penyakit, dan sebagainya. Kecuali itu, buku ini juga dilampiri dengan statistik perdagangan Aceh masa silam semisal perdagangan Penang dan Aceh, juga dilengkapi dengan indeks.

Sebagai sebuah buku sejarah, “Asal Mula Konflik Aceh” ini penting dibaca oleh siapa saja, terutama bagi peneliti yang hendak tahu lebih banyak tentang Aceh, agresi militer, dan geliat Belanda dalam menerapkan politik perdagangannya hingga menjadi bangsa penjajah. Belanda dikenal orang Aceh dengan kelicikan pola pemerintahan dan pertaniannya diulas secara rinci oleh Reid. Reid mengumpulkan data-data sejarah tersebut dari arsip historis bangsa Eropa (terutama Belanda dan Inggris) sehingga sulit dibantah kebenarannya bahwa Aceh memang daerah modal.

Review Buku : ASAL MULA KONFLIK ACEH

Judul : Asal Mula Konflik Aceh
Sub Judul : Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19
Judul Asli : The Contest for North Sumatera: Acheh, the Netherlands and Britain 1858-1898
Hak Cipta : Oxford University Press, 1969 University of Malaya, 1969
Penulis : Anthony Reid
Penerjemah : Masri Maris
Penerbit
: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Edisi Pertama : Juli 2005
Kategori : sejarah, politik,

Yang Gila Dalam Perang Aceh

Karena stres berat akibat kelelahan perang. Marsose di Blangkejeren saling bunuh membunuh. Perempuan menjadi penyebab lainnya. Pada beberapa brigade, serdadu-serdadu Belanda itu banyak yang mengacuhkan komandannya.
Ketegangan antar serdadu Belanda itu, diulas Zentgraaff dalam buku “Atjeh”. Kepanikan menghadapi pejuang Aceh, membuat para pasukan elit Belanda itu stres berat, ditambah lagi akumulasi persoalan di kalangan istri-istri marsoese dengan marsose yang istrinya tidak sampai ke Blangkejeran.


Zentgraaff menulis, seorang marsoase Ambon hendak membunuh komandan brigadenya, namun seorang marsoase lainnya bertindak tegas menghalanginya. Pada kejadian-kejadian sebelumnya, para marsoase itu rupanya tidak bertindak dengan tegas, walaupun mereka dapat melakukannya harus dapat melakukannya. 

“Dimanakah kini gerangan perginya semangat militer yang baik itu, semangat yang terutama bagi pasukan kecil itu, yang paling banyak terdiri dari seorang komandan dengan 18 anak buah bersenjata karaben dan kelewang, di mana setiap orang sangat terikatnya kepada kawan-kawannya?” tanya Zentgraaff.

Kejadian lainnya, seorang komandan brigade bernama Van der Post, yang berperawakan kecil serta pucat, sedianya akan berangkat patroli bersama pasukan pada pukul tujuh pagi, dan semua sidah siap, tatkala si “pang” datang berkata kepadanya mangenai seorang serdadu yang tidak mau pergi ketempat jaga, serta punya maksud-maksud jahat. Sering benar terjadi, dimana serdadu-serdadu yang ada punya sesuatu persoalan dengan istrinya sendiri atau istri orang lain, tidak mau pergi keluar bivak dan memberi alasan karena dia sakit.

Sakit hanyalah alasan untuk tetap tinggal di bivak, tidak ikut patroli, karena para marsose yang pura-pura sakit itu punya agenda lain, yakni ketika kawan-kawannya pergi patroli, ia akan kencan dengan istri marsose yang suaminya ikut patroli tersebut. “Untuk menghindari hal itu, lalu di kerluarkanlah perintah: setiap serdadu yang melapor sakit ketika akan berangkat, haruslah berada di tempat jaga dan tetap berada di sana sampai pasukan kembali, sehingga dengan demikian maka setiap jam kencan dia tidak dapat memenuhi,” jelas Zentgraaff.

Pun demikian, tetap saja serdadu yang pura-pura sakit itu tidak mau pergi ke tempat jaga. Sampai akhirnya komandan mereka, Van Der Post turun tangan, ia masuk ke dalam dengan karaben di tanggannya. Diarahkannya senjata ke marsose yang pura-pura sakit itu, sambil meminta anak buahnya untuk melucuti senjata masrsose tersebut.

Tapi marsose yang sudah paham betul pada alasan pura-pura sakit kawannya itu, enggan melakukan perintah komandannya, sebaliknya mereka malah mengomel akan menembak komandannya yang tidak mengerti pada kebutuhan prajuritnya.

Hal itu membuat komandan Van Der Post berang. Ia kemudian melemparkan karabennya ke lantai dengan sangat marah, dan melompat ke hadapan marsose yang mengomelinya. “Tembak kalau kalian memang berani,” tantang Van Der Post.

Mendengar tantangan tersebut, ke delapan belas marsose malah berbalik meninggalkan komandannya itu. Merasa tak dihargai van Der Post pun berteriak dengan keras. “Baris” perintanya kepada marsose itu, yang kemudian langsung membentuk barisan. Lalu ke 18 marsose itu dihukum berjalan sejauh mungkin sampai semuanya kelelahan dan tidak sanggup berjalan lagi.

Tak cukup sampai di situ, Van Der Post pun memerintahkan ke 18 marsose itu untuk patroli meski sudah sangat lelah. Karena sering dihukum seperti itu, maka akhirnya secara perlahan-lahan para marsose itu disiplin kembali, meski alasan sakit untuk menolak ikut patroli agar bisa berkencan dengan para wanita, istri marsose lainnya tetap tak pernah hilang.

***

Kisah yang lucu sekaligus unik menimpa Limbar, seorang kopral dari Brigade pimpinan Mosselman, yang dinilai cemerlang. Yang karena kecemerlangannya itu pula mendapat banyak tanda jasa setelah sekian lama ikut bertempur di pelosok-pelosok Aceh.

Limbar mulai menunjukkan gejala-gejala kelakukan aneh. Ketika berada di Padang Tiji, Pidie, ia sudah mulai menampakkan gejala gila dan pada pantolannya yang putih itu dijahitnya dua buah bies terbuat dari kertas parada, sedangkan pada jasnya dilekatkannya banyak tres-tres dan bintang-bintang. Pada topinya diberi jambul dari kertas dan sarung pedangnya begitu bagus, melebihi kedudukan seperti seorang Eropa berpangkat Hoofdcommissaris. Di Hinda Belanda dalam kepolisian dengan pakaian kebesarannya kiri-kira seperti seorang Admiral besar dan seorang Veldmaarshalk.

Begitulah saban hari ia bergaya di depan kaca. Sehingga kawan-kawannya dalam rangan menertawainya. Moselman selaku komandan brigade lalu masuk ke barak tersebut dan menghardiknya. Limbar kemudian menjawab dengan santai. “Apa sersan tidak tahu bahwa saya sekarang jenderal?” katanya dengan santai kepada komandannya itu.

Mendengar itu, Moselman jadi emosi, ia pun terus menghardik serta memberi aba-aba pada bawahannya itu. “Siaaaaa…….ap grak,” perintah Moselman. Dengan sikap ragu-ragu Limbar pun melakukan perintah komandannya itu, kemudian pergi meninggalkannya.

Tatkala Mosselman bersama pasukannya pergi mengadakan suatu gerak patroli, dan tiba-tiba berserobot dengan sekumpulan gerombolan maka mereka berhasil lari pontang panting karena telah terlebih dahulu melihat kehadiran militer-militer tersebut. Karena itulah komandan menjadi marah sekali kepada pasukannya dan berkata bahwa ini tidak becus mereka harus pergi mencarinya sekarang dan tidak boleh kembali sebelum menemukan berkas jejak itu.

Limabar tidak di perkenankan ikut serta sebagai hukuman baginya dan putusan itu betul-betul tamparan keras baginya karena menyangkut rasa kehormatan dirinya. Tatkala para pencari jejak itu tiba kembali, dan Mosselman sedang duduk di atas sebuah batu rata sambil merokok tiba-tiba si Limbar berdiri tegak di depanya dengan senapan karaben siap ditangannya. “Kenapa sekarang kopral Limbar tidak berlaku gila lagi?” tanya Mosselman, mengingat kejadian di barak Padang Tiji ketika Limbar berdandan dan bersolek di depan kaca dengan atribut di baju seperti jenderal.

Namun pertanyaan itu tidak di jawab Limbar, ia tetap memegang karaben dan mengarahkan ke komandannya itu. Ia memandang dengan sorot mata yang dingin dan aneh. Melihat gelagat aneh Limbar tersebut, Mosselaman memberikan aba-aba. “letakkan…….karaben!” perintahnya. Limbar pun meletakkannya, lalu Mosselaman kembali memberi aba-aba. “Sandang senjata, maju jala…..an grak.” Limbar pun menyandang kembali senjata itu dan berjalan meninggalkan komandannya.

Tak lama kemudian, Limbar pun dibawa ke Kutaraja. Marsose yang stres akibat persoalan perang dan perempuan itu pun ditempatkan bersama orang-orang gila lainnya di sebuah penampungan. Namun atas prestasinya selama ikut berperang di seantero Aceh, kepadanya diberikan penghargaan berupa Miklitaire Willwimsorde.

Suatu ketika Mosselaman pergi mengunjunginya. Juru rawat disitu telah membuat sebuah bintang biasa yang besar dari tutup blek dan di pakai oleh limbar pada dada bajunya. Sekali-kali tangannya yang kurus itu membelai bintang primitif tersebut. Tersirat tanda-tanda mengingatnya kembali ketika komandan lama itu masuk kedalam dia mencium bau udara hutan-hutan cemara di Blangkejeren. Limbar pun berlagak seperti Jenderal dan bertanya kepada komandannya itu “Apa sersan sudah pulang dari Gayo?”

Sebelum Mosselman meningalkannya, Limbar pun mengajukan beberapa permohonan. Sebab menurutnya, namanya bukanlah Limbar tapi Graf Timbal dan menghendaki gelar yang sepadan menurut kedudukannya. Ia masih menganggap dirinya seorang jenderal. Tak lama kemudan mantan kopral pemberani itu pun di kirim ke rumah sakit Jiwa di Bogor.

Zentgraaff menilai hal tersebut merupakan suatu akhir yang sangat menyedihkan bagi seorang Marsose cemerlang dan pemberani seperti Limbar. Dan kegilaan-kegilaan marsose lain pun terus berlanjut setelah Limbar. Persoalannya masih jenuh berperang dan wanita (nafsu). Menurut Zentgraaff, dalam tahun 1909 dan 1910. di Blangkejeren terjadi berbagai peristiwa aneh di luar batas-batas normal.

Menghalalkan Ganja Aceh



Jangan biarkan sobat terkecoh dengan judul artikel di atas sebelum membaca isi daripada artikel ini hingga tuntas. Yuk, kita telusuri segala fenomena tanaman ajaib ini, mulai dari manfaat hingga kerusakan yang di akibatkan tanaman haram ini jika di salah gunakan. Di Indonesia, bila kita berbicara Ganja, Pasti tak luput Aceh di dalamnya. Namun klaim itu tak bisa serta merta disambut negatif, karena memang benar adanya.

Bahkan Tanah 1001 Rencong ini juga diklaim terkenal sebagai produsen ganja terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand. Hampir di setiap jengkal belantara Aceh dihiasi tanaman ganja. Tak pelak, Isu Aceh sebagai penghasil tanaman ajaib ini bahkan sudah mendunia. Syahdan, *Anggapan masyarakat internasional bahwa Aceh telah memiliki trade mark sebagai ‘ladang ganja’ terbesar sekaligus penyuplai ganja berkualitas Nomor Wahid.

Pertanyaannya, kenapa mesti Ganja? Kan masih banyak komoditi lainya, seperti palawija dan berjuta jenis tumbuhan lainya. Jawabannya adalah, karena tanaman lain tak ada yang mem-backup alias menyokong atau alias-alias dan alias lainnya. Kalau saja polisi sedang gemar berpatroli, dalam satu bulan saja dapat menemukan hingga ratusan hektar ganja di hampir seluruh wilayah Aceh. Dari sekian banyak wilayah itu, Bireuen dan Aceh Besar-lah yang disinyalir terdapat ladang ganja terluas di seluruh Aceh.

Satu kali operasi saja, polisi bisa menemukan 20 sampai 90 hektar ladang. Hitung saja jika satu hektar menghasilkan 100 kilogram ganja siap panen jika per kilogram nya Rp. 2 juta atau Rp. 200 juta per hektar. Harganya kian melonjak hinggaRp. 3,5 juta per kg jika di jual eceran. Katakanlah jumlah keseluruhan ladang ganja di Aceh ada 1000 hektar walau tidak valid, dengan asumsi setahun 3 x panen, Maka setiap kali panen omset per tahun , yaitu 100 ribu kg x 3,5 jutax 3 = Rp 1,05 triliun. Duit semua itu ...!!

Dengan demikian hasil ganja Aceh hampir mengimbangi seperempat dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Bayangkan, jika hasil tanaman ini diekspor, tentu menghasilkan keuntungan berlipat ganda, apalagi ganja Aceh telah mendapat predikat standar Internasional. Untung ganja tak legal gan.., kalau legal, mungkin Aceh sudah dinobatkan sebagai negeri swasembada Ganja.Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf akan mendapat nobel layaknya Pak Hartoyang berhasil mengantar Indonesia sebagai Negara Swasembada Pangan.

Agan-Agan tahu tidak, bahan apa saja yang terbuat dari ganja itu?? Tanaman ini, dari akar, batang, daun hingga ranting merupakan bahan paling istimewa untuk pembuatan kertas dan kain. Selain itu gan, bijinya bisa digunakan sebagai bahan bakar minyak, baik langsung, maupun diubah melalui proses pirolisis menjadi batu bara, metana, methanol. Ganja bahkan jauh lebih baik daripada minyak bumi karena bersih dari unsur logam dan belerang, jadi lebih aman dari polusi. dan Lebih dari itu juragan, biji ganja sangat amat bergizi, dengan protein berkualitas tinggi, bahkan lebih tinggi dari kedelai.

Ganja ternyata bukan hanya sebatas itu saja, bahkan serat tanaman ganja jenis hemp dipakai untuk tali pengikat kapal perang Tentara Armada Laut Amerika Serikat pada Perang Dunia II. Tentunya setelah diolah terlebih dahulu. Sebuah data dari dunia maya menyatakan, serat ganja setelah diberi sentuhan teknologi, keunggulannya melebihi baja dan halus seratnya mampu mengalahkan serat kapas.

Seiring perkembangan dunia industri, negara-negara maju, seperti Tasmania, salah satu negara yang tergolong paling besar memanfaatkan potensi ganja. Negara ini memanfaatkan ganja dengan menurunkan kadar THC (Tetrahydrocannabinol) untuk memproduksi bahan tekstil, kertas, bahanpembuat makanan, tapak rem dan kopling hingga untuk tali.

Sementara di Inggris terdapat pusat pengelolaan marijuana atau ganja. Lembaga itu meneliti tanaman ini secara medis dan farmasi. Hasilnya, tanaman yang daunnya berbentuk jari ini tetap diandalkan dan menjadi obat ampuh. Seperti pasien lumpuh dapat disembuhkan dengan terapi mariyuana dan dapat berjalan kembali layaknya orang normal, tidak impoten, dan mempunyai daya ingat yang tinggi.
Dan di Kanada, pihak pemerintah melegalisasikan ganja untuk farmasi. Dilaporkan telah banyak pasien yang terbantu, seperti mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya. Pemerintah Kanada mengijinkan pembelian ganja dengan resep dokter di apotek-apotek lokal. Satu ons dijual sekitar 113 US dollar dan ganja dikirim melalui kurir ke pasien atau dokter mereka.

Menurut ahli medis nih Gan.., komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THC yang terdiri dari Delta -9- THC danDelta -8- THC. Delta -9- THC sendiri dapat mempengaruhi pola pikir otak manusia melalui penglihatan, pendengaran, dan suasana hati pemakainya. Sementara Delta -9- THC diyakini para ilmuwan medis mampu mengobati berbagai penyakit. Daun dan biji ganja membantu penyembuhan penyakit tumor dan kanker. Akar dan batangnya bisa dibuat jamu yang mampu menyembuhkan penyakit kejang perut (kram), disentri, anthrax, asma,keracunan darah, batuk, diare, luka bakar, bronchitis.

THC sendiri gan merupakan zat yang dapat menghilangkan rasa sakit, misalnya pada penderita glukoma. THC memiliki efek analgesic, yang dalam dosis rendah saja bisa bikin ‘tinggi’. Bila kadar THC diperkaya, bisa lebih potensial untuk pengobatan. Selain itu di masyarakat tradisonal, ganja dipakai sebagai herbal medicine. Namun bila dipakai sembarangan dan berlebihan, karena sifatnya sebagai alusinogen dapat menimbulkan euphoria sesaat, malas. Efek terburuk dari ganja membuat reaksi pengguna lambat, dan cenderung kurang waspada.
Sebuah fakta lagi, kebanyakan orang takut menggunakan ganja bahkan haram bersentuhan dengannya, padahal ganja banyak dipasarkan dalam kemasan lain yang sering kita dikonsumsi sehari-hari, misalnya sebagai obat antikantuk,obat pelangsing, obat peningkat kecerdasan, obat kuat seks dan obat untuk menambah kepercayaan diri (konfiden), dan segala macam obat lainnya.

Di luar negeri, ganja dibedakan menjadi dua bagian, yaitu ganja untuk kepentingan industri maupun medis yaitu ganja jenis Hemp, dan ganja terlarang sering disebut Cannabis. Sementara di negara kita ini tidak mengenal perbedaan ini, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, Semuanya Haram !!

Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang adalah karena zat THC. Jika salah digunakan, zat ini bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk sesaat. Sebenarnya kadar zat THC yang ada dalam tumbuhan ganja dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika ganja dikelola dan dipantau dengan proses yang benar.

Kesan Aceh sebagai ladang ganja berkonotasi negatif memang telah mencoreng Aceh di mata Internasional. Untuk menyembukan luka ini, dibutuhkan keterlibatan segenap elemen mayarakat, terutama orang tua yang memiliki anak yang cerdas, kalau memang anaknya sudah Bodoh dari sananya, tanpa pakai ganja pun cit ka pa'ak alias Bengak.
 
Dengan program Alternatif Development (AD) yang dicanangkan pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional (BNN), semoga 15 tahun mendatang, khususnya Aceh bebas dari efek negatif ganja dan dapat memanfaatkan potensi ganja sebagai komoditi ekspor unggulan untuk kepentingan industri maupun medis, tanpa harus disalah gunakan. Maksud baik pemerintah kita melindungi generasi muda dari pengaruh ganja bahkan tak kunjung berhasil, bahkan gagal total. Bahkan potensi ganja untuk kepentingan industri dan medis yang ujung-ujungnya mensejahterakan rakyat pun sia-sia.

Pada Hakikatnya, Allah menciptakan segala sesuatu karena manfaatnya, Segala sesuatu penciptaan-Nya tak pernah ada yang sia-sia. Hanya karena manusianya saja makhluk paling perusak di muka bumi,karena ulah manusia lah tanaman ini menjadi Cacat Namanya. Pada intinya manfaat tanaman ini sangatlah berguna. Jadi, tidak ada salahnya jika Pemerintah melegalisasikan alias "menghalalkan" tanaman Anugerah Allah ini untuk kepentingan medis dan industri. Coba bayangkan, Berapa banyak nyawa manusia yang dapat tertolong jiwanya bila saja para ahli medis dapat mengelola tanaman ini dengan sebaik-baiknya...?? Jika berniat "Hanya Karena Allah", Insya Allah semuanya akan baik-baik saja.'

Aceh, Sumber Inspirasi Militer Belanda Dan Afghanistan



Aceh dan Afghanistan: apa kaitannya? Kecuali sama-sama bermayoritas penduduk muslim, kaitan langsung antara keduanya rasanya terlalu dicari-cari. Siapa bilang?

Ternyata yang disebut kaitan itu adalah Belanda, khususnya Kementerian Pertahanan Belanda. Ketika mempersiapkan missi militer di Uruzgan, Belanda mempelajari lagi Perang Aceh, serta bagaimana Aceh waktu itu bisa ditaklukkan. Tentang makna kaitan Afghanistan - Aceh dan Aceh sebagai sumber inspirasi bagi misi militer Belanda di Uruzgan, berikut bincang-bincang dengan Paulus Bijl yang baru saja memperoleh gelar doktor setelah menulis disertasi tentang kekejaman kolonial Belanda

Sebelum melakukan missi ke Uruzgan di Afghanistan, pasukan Belanda memang kembali mempelajari situasi Aceh, terutama Perang Aceh yang berlangsung antara tahun 1873 sampai 1904. Ada beberapa alasan mengapa hal itu dilakukan. Salah satunya adalah gagasan counter insurgency, di sini Kementerian Pertahanan Belanda ingin mempelajari bagaimana Jenderal Van Heutsz bisa menaklukkan Aceh. Juga apa yang bisa dipelajari dari hal itu.

Di pihak lain, Perang Aceh itu berlangsung pada periode Politik Etis. Ini juga merupakan inspirasi untuk zaman sekarang. Ada seorang perwira tinggi Belanda yang bicara tentang Pendekatan Belanda, Dutch Approach. Menurutnya kita ke Uruzgan bukan untuk memerangi Taliban, tapi untuk membuat mereka tidak diperlukan lagi.

Di sinilah unsur paternalismenya. Pemikiran seperti itu dilatarbelangi pendapat bahwa orang-orang di Uruzgan tidak bisa mengurus diri sendiri. Karena itu Belanda harus ke sana untuk membantu mereka. Gagasan seperti ini sudah ada sejak Indonesia menjadi jajahan Belanda. Penguasa kolonial sangat mencurigai penguasa lokal, mereka dituduh memperlakukan penduduk setempat dengan buruknya. Karena itu di Eropa muncul berbagai gagasan soal ini. Inggris misalnya datang dengan gagasan White Man's Burden, Prancis punya gagasan Mission Civilisatrice, dan Belanda datang dengan Politik Etis.

Gagasannya adalah Eropa punya cara yang lebih baik. Rakyat setempat tidak tahu dan tidak paham. Kalau pemimpin setempat itu bisa diusir, maka rakyat akan sadar bahwa hidup di bawah naungan bendera Eropa akan lebih nyaman. Jadi unsur paternalisme itu masih ada dengan kuatnya.

Dulu memang bisa dikatakan mereka paternalistis, apalagi waktu itu masih zaman kolonial. Kalau sikap seperti itu sekarang ternyata masih diteruskan, bisakah dikatakan Belanda tidak belajar dari masa lampaunya di Aceh?

Belajar dari masa lampau selalu sangat rumit. Yang jelas sekarang sudah tidak ada wilayah koloni lagi. Kolonialisme seperti yang dikenal dulu sekarang sudah tidak ada lagi. Indonesia sudah merdeka dan Belanda sudah tidak menentukan lagi di Indonesia. Selain itu juga sudah ada pelbagai organisasi internasional yang berupaya menjaga dan meyebarkan demokrasi. Tetapi ternyata masih ada saja gagasan-gagasan kolonial, misalnya sikap paternalisme itu. Jadi ada yang sudah berubah tapi ada juga yang tetap seperti dulu.

Yang juga perlu diingat adalah lembaga-lembaga internasional yang dibangun bersama, seperti PBB, ternyata juga rentan terhadap pengaruh negara-negara besar. Di satu pihak harus terjadi banyak hal, misalnya karena IMF dan Bank Dunia tidak berperan baik di negara-negara yang tidak begitu maju. Politik hutang negara-negara miskin juga tidak menguntungkan mereka, jadi masih banyak yang harus diperbaiki.

Di pihak lain kita juga harus awas supaya hubungan-hubungan yang sudah ada tidak memburuk. Di situ masih banyak perimbangan yang rentan. Karena itu kita tidak bisa beranggapan bahwa semuanya akan tetap baik.


Aceh Afghanistan

Berlangsung debat tak kunjung habis di Belanda, karena foto-foto ini membangkitkan perasaan tidak nyaman. Mereka bertanya-tanya, itulah Belanda? Masak Belanda melakukan hal seperti itu? Mereka malu, karena foto ini tidak cocok dengan gambaran orang mengenai Belanda.

Belanda selalu menganggap dirinya sebagai korban, korban Jerman dan Jepang selama Perang Dunia Kedua. Dalam foto-foto ini jelas terlihat bahwa Belanda adalah pelakunya. Itu membangkitkan perasaan tidak nyaman. Apalagi selama ini orang beranggapan Belanda itu negara kecil yang sepak terjangnya selalu baik-baik saja. Dengan foto ini maka sepak terjang Belanda jadi lebih rumit lagi. Dulu begitu, sekarang juga tetap begitu, misalnya dalam missi ke Afghanistan. Belanda selalu beranggapan membawa yang baik untuk Afghanistan. Foto seperti ini merusak anggapan itu.

Sebelum melakukan missi ke Uruzgan di Afghanistan, pasukan Belanda memang kembali mempelajari situasi Aceh, terutama Perang Aceh yang berlangsung antara tahun 1873 sampai 1904. Ada beberapa alasan mengapa hal itu dilakukan. Salah satunya adalah gagasan counter insurgency, di sini Kementerian Pertahanan Belanda ingin mempelajari bagaimana Jenderal Van Heutsz bisa menaklukkan Aceh. Juga apa yang bisa dipelajari dari hal itu.

Di pihak lain, Perang Aceh itu berlangsung pada periode Politik Etis. Ini juga merupakan inspirasi untuk zaman sekarang. Ada seorang perwira tinggi Belanda yang bicara tentang Pendekatan Belanda, Dutch Approach. Menurutnya kita ke Uruzgan bukan untuk memerangi Taliban, tapi untuk membuat mereka tidak diperlukan lagi.

Di sinilah unsur paternalismenya. Pemikiran seperti itu dilatarbelangi pendapat bahwa orang-orang di Uruzgan tidak bisa mengurus diri sendiri. Karena itu Belanda harus ke sana untuk membantu mereka. Gagasan seperti ini sudah ada sejak Indonesia masih dijajah Belanda. Penguasa kolonial sangat mencurigai penguasa lokal, mereka dituduh memperlakukan penduduk setempat dengan buruknya. Karena itu di Eropa muncul berbagai gagasan soal ini. Inggris misalnya datang dengan gagasan White Man's Burden, Prancis punya gagasan Mission Civilisatrice, dan Belanda datang dengan Politik Etis.

Gagasannya adalah Eropa punya cara yang lebih baik. Rakyat setempat tidak tahu dan tidak paham. Kalau pemimpin setempat itu bisa diusir, maka rakyat akan sadar bahwa hidup di bawah naungan bendera Eropa akan lebih nyaman. Jadi unsur paternalisme itu masih ada dengan kuatnya.

Ketika sikap parternalistis itu sekarang kembali dilanjutkan, kita bisa bertanya benarkah Belanda tidak belajar dari masa lampaunya di Aceh? Paulus Bijl segera menyatakan bahwa belajar dari masa lampau selalu sangat rumit. Yang jelas sekarang sudah tidak ada wilayah koloni lagi. Kolonialisme seperti yang dikenal dulu sekarang sudah tidak ada lagi. Indonesia sudah merdeka dan Belanda sudah tidak menentukan lagi di Indonesia.

Selain itu juga sudah ada pelbagai organisasi internasional yang berupaya menjaga dan meyebarkan demokrasi. Tetapi ternyata masih ada saja gagasan-gagasan kolonial, misalnya sikap paternalisme itu. Jadi ada yang sudah berubah tapi ada juga yang tetap seperti dulu.

Yang juga perlu diingat adalah lembaga-lembaga internasional yang dibangun bersama, seperti PBB, ternyata juga rentan terhadap pengaruh negara-negara besar. Di satu pihak harus terjadi banyak hal, misalnya karena IMF dan Bank Dunia tidak berperan baik di negara-negara yang tidak begitu maju. Politik hutang negara-negara miskin juga tidak menguntungkan mereka, jadi masih banyak yang harus diperbaiki.

Di pihak lain kita juga harus awas supaya hubungan-hubungan yang sudah ada tidak memburuk. Di situ masih banyak perimbangan yang rentan. Karena itu kita tidak bisa beranggapan bahwa semuanya akan tetap baik.

Pertanyaan terakhir, Politik Etis dulu akhirnya berdampak lain dari yang diharapkan Belanda, karena dari situ lahir pemuda-pemudi yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Bagaimana dengan politik di Afghanistan, apakah hasilnya juga akan lain dari yang diharapkan dunia Barat?

Ini pertanyaan yang sangat sulit. Salah satu kesalahan fundamental Belanda di Indonesia adalah bahwa warga Hindia Belanda waktu itu tidak pernah diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka. Dengan kata lain, mereka tidak pernah menjadi warga negara. Pernah saat seperti itu nyaris akan terjadi, sering disebut tahun 1918, tetapi itu batal, sehingga Hindia Belanda tidak pernah merupakan warga wilayah koloni itu. Pendapat mereka tidak pernah didengar, mereka selalu diabaikan. Jelas mereka tidak mau.

Kalau akhirnya warga Afghanistan berhasil diyakinkan soal demokrasi dan demokrasi itu benar-benar dipraktekkan, maka missi militer ke Afghanistan akan bisa berhasil. Tapi orang-orang Afghanistan sendiri juga harus mau. Tidak bisa dipercaya bahwa sebuah sistem, seperti demokrasi, bisa ditanamkan dari luar. Kalau orang-orang di sana benar-benar mau punya masyarakat yang aman sentausa, maka itu akan bisa terlaksana. Kalau tidak maka keadaannya akan makin rumit. Karena jelas kita tidak bisa memaksakan sesuatu dari luar. Itu tidak pernah jalan di Hindia Belanda dan juga tidak akan jalan di Afghanistan.

Sekarang pemerintah Belanda berminat kembali mengirim satuan polisi ke Kunduz, Afghanistan, dengan tugas melatih polisi setempat. Pihak oposisi tidak setuju dan mereka tampaknya merupakan mayoritas.

"Hantu" Dalam Pengetahuan Ureung Aceh

- Illustrasi - 


Asal Usul

Aceh selain sebagai nama daerah juga merupakan nama salah satu suku bangsa terbesar yang hidup di Ujung Barat Sumatera. Saat ini, di Aceh didiami oleh delapan suku besar yaitu suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Kluet, Simeuleu dan Singkil (Sufi dan Wibowo, 2004). Di antara delapan suku tersebut, suku Aceh adalah yang terbesar. 

Lebih kurang 80% suku ini mendiami Provinsi Aceh yang tersebar di lima kabupaten yaitu Aceh Besar, Piddie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Barat. 20% sisanya adalah penduduk pendatang yang berasal dari suku bangsa lain seperti Jawa, Minangkabau, Batak, Cina, India dan Arab. Karena banyak dihuni oleh berbagai suku, dalam perkembanganya di Aceh lahir beragam bahasa, budaya dan konsep berfikir (Syamsudin dkk, 1980; 15).

Mayoritas penduduk suku Aceh beragama Islam. Zaman keemasan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menjadi monumen besar di mana ajaran Islam ikut berpengaruh pada perilaku kehidupan masyarakat Aceh (Lombard, 1986). Hukum Islam dan hukum adat menyatu dalam sistem pemerintahan Aceh kala itu dan mencoba dipertahankan hingga sekarang (Sufi dan Wibowo, 2006). Realitas ini menyebabkan kebudayaan Aceh menjadi warna-warni dan unik. Salah satu kebudayaan yang saat ini masih dipercaya oleh ureung Aceh dan melahirkan beragam ritual dalam kehidupan sosial mereka adalah pengetahuan ureung Aceh tentang hantu.

Hantu adalah salah satu jenis dari makhuk halus. Hantu dipercaya ureung Aceh hidup di sekitar mereka dan bermukim di tempat-tempat yang dianggap angker, seperti kuburan, rawa-rawa, kuala (sungai), goa yang dalam, hutan, pohon besar, batu besar dan telaga. Menurut ureung Aceh hantu-hantu tersebut ada yang baik dan ada yang jahat. Untuk hantu yang baik, para orang tua atau teungku meunasah (imam madrasah) atau teungku balee (pimpinan balai pengajian) memberitahukan agar masyarakat tidak takut, karena hantu baik terkadang akan membantu masyarakat, bahkan kalau bisa diajak berteman. Sebaliknya untuk hantu yang jahat, masyarakat dihimbau untuk berhati-hati, karena terkadang hantu jahat akan mengganggu atau bahkan menyakiti (Sufi dkk, 1998/1999; 78).

Secara umum, ureung Aceh dalam kesehariannya menyebut hantu yang jahat dengan setan, iblis, jin jahat, makhluk halus jahat atau roh jahat. Misalnya ada orang yang sakit dan tidak dapat diobati oleh dokter atau dengan sebab yang tidak umum “aneh”, maka ureung Aceh langsung menghubungkannya dengan makhluk halus yang jahat (Nurdin, 1988). Contoh lain, seorang anak yang lahir padahal belum saatnya lahir (kurang bulan), diyakini terkena gangguan roh jahat (Sufi dkk, 1998/1999; 78).

Hantu dalam Pengetahuan Ureung Aceh

Ureung Aceh tidak mempunyai sebutan khusus untuk hantu yang baik, akan tetapi untuk hantu yang jahat, mereka mempunyai beberapa sebutan khusus.

a. Hantu berdasarkan tempat tinggalnya, antar lain:
  • Orang bunian, yaitu hantu yang tinggal di hutan. Lazimnya akan mengganggu siapa saja yang pergi ke hutan untuk mencari kayu atau rotan, dengan cara ”menyembunyikannya” selama berhari-hari, sehingga orang tersebut tidak bisa pulang ke rumahnya, sebelum bunian itu sendiri yang memulangkannya. Seseorang biasanya akan pulang dengan keadaan fisik agak aneh (bahkan ada yang hilang ingatan), tetapi ada juga yang sehat seperti semula sebelum “disembunyikan” bunian. Orang tersebut bahkan terkadang mempunyai kelebihan, misalnya dapat melihat makhluk halus.
  • Balum beude (gulung tikar). Hantu ini diam di kuala (sungai) atau tepi pantai. Jika menampakkan diri dan terlihat oleh mata telanjang, maka akan tampak tikar yang berwarna merah laksana api, karena itu disebut setan gulung tikar.
  • Sane. Hantu yang menghuni rawa-rawa atau sungai yang airnya tidak mengalir, tetapi masih ada genanganya. Sane biasanya menempel pada kayu yang terapung atau tenggelam di rawa-rawa atau sungai. Jika seseorang menyentuh kayu tersebut, maka badannya akan terasa sakit, tulang-tulangnya seperti ada yang menggigit atau ditusuk jarum.
  • Ie Beuna, yaitu hantu air laut atau hantu yang diam di laut. Sebagian masyarakat Aceh percaya bahwa tsunami tahun 2004 disebabkan oleh hantu air laut ini.
  • Pohon Lumbe. Adalah hantu yang tinggal di pohon lumbe. Jika seseorang meminum air dari akar pohon tersebut, maka leher orang tersebut akan membesar dan bengkak. Penyakit ini disebut ureung Aceh dengan cugong.

b. Hantu berdasarkan keyakinan, antara lain:
  • Burong tujoh, adalah hantu yang suka mengganggu anak kecil. Hantu ini sering masuk ke dalam tubuh anak-anak (kerasukan). Jika hal ini terjadi maka mata sang anak akan terbelalak, merah dan menyeramkan. Untuk menghilangkannya akan dipanggil pawang, tengku meunasah atau tengku balee. Setelah dijampi-jampi, burong tujuh biasanya akan pergi dari tubuh sang anak.
  • Beuno. Hantu ini mengganggu orang yang sedang tidur. Jika orang tidur sambil mengorok (mendengkur), maka itu tandanya sedang dirasuki beuno.

c. Hantu berdasarkan wujudnya, antara lain:
  • Tuleueng dong, adalah setan berwujud tulang tengkorak, yang menggangu dengan memperlihatkan dirinya di kegelapan malam.
  • Jen aphui (jin api). Jin jahat yang hanya kelihatan di malam hari dan berbentuk seperti bola api.
  • Geunteut, yaitu hantu dengan bentuk fisik yang tinggi dan langkah yang panjang-panjang. Biasanya menakuti-nakuti orang dengan menunjukkan dirinya di tengah jalan dan selanjutnya masuk ke rerimbunan pohon bambu atau semak.
  • Bujang itam, yaitu hantu yang digambarkan kasar, angker dan mengerikan yang dapat ditugaskan untuk maksud jahat.
  • Burong (Kuntilanak), adalah hantu berjenis perempuan berbaju putih dan keluar di malam hari. Ureung Aceh menyebut dengan nama lain burong punjot. Kuntilanak konon berasal dari mayat perempuan yang tali pengikat kafannya tidak dilepas ketika dikubur. Namun ada juga yang berpendapat kalau burong merupakan roh seorang perempuan yang meninggal dunia karena melakukan perbuatan maksiat yaitu meumakah (berzina). Burong senang mengganggu perempuan yang sedang haid, mengandung atau sedang melahirkan. Biasanya dengan bersuara meikiki (beriba-iba minta dikasihani). Jika seorang perempuan kosong pikirannya, maka burong akan diam-diam masuk ke dalam tubuhnya, dan seketika perempuan tersebut akan tak sadarkan diri dan mengoceh. Perempuan ini akan sembuh jika sudah diobati oleh dukun yang menguasai ilmu tentang roh jahat (Sufi dkk, 1998/1999; 78).

Pengaruh Sosial

Pandangan ureung Aceh terhadap berbagai macam jenis hantu di atas, berimplikasi terhadap kehidupan sosial mereka. Di bawah ini akan disebutkan implikasi sosial pengetahuan ureung Aceh tentang hantu, yaitu terhadap pengobatan tradisional, beberapa upacara ritual dan pendidikan anak ureung Aceh.

a. Pengaruh terhadap pengobatan tradisional

Sehubungan dengan pengobatan terhadap penyakit yang disebabkan oleh setan atau jin, ureung Aceh memiliki dua istilah berbeda. Jika penyakit ini didapat dari tempat-tempat angker, maka disebut Teukunong. Dan jika berasal dari ilmu hitam, maka disebut jiboh atau jipeukeunong (Nurdin, 1988). Ada tiga cara yang dilakukan ureung Aceh untuk mengobati kedua jenis penyakit ini, yaitu:
  • Keumalon, yaitu memberi makanan (sesajen), melepaskan ayam hitam, atau putih, atau cawarna untuk hantu, di tempat yang dianggap angker. Dengan ritual ini ureung Aceh berharap penyakit akan sembuh dan setan tidak mengganggu lagi.
  • Meurajah, yaitu membaca mantra-mantra yang kadang berasal dari ayat Al Quran. Kepada tukang rajah diberikan peunyuroh (sarat) berupa jarum suntik yang konon katanya agar ilmunya tidak tumpul. Jumlah jarum tergantung penyakitnya, jika penyakitnya berat, akan diberikan lebih dari tiga jarum. Jika ringan maka minimal satu jarum. Meurajah juga dilakukan dengan menuliskan ayat tertentu dari Al Quran pada kertas, kemudian kertas tersebut diselipkan di dalam dompet, ikat pinggang, kopyah atau dibuat liontin kalung (dipakai azimat). 
  • Meukaoi (nazar). Jika keumalon dan meurajah tidak mujarab, maka dilakukan nazar, yaitu datang ke kuburan-kuburan keramat disertai dengan memotong kambing atau solat di masjid tertentu dan berpuasa. Ini dilakukan dengan harapan, tersebab kekeramatan orang yang di kubur tersebut, akibatnya penyakit dapat sembuh.

b. Pengaruh terhadap ritual 

Pengaruh pada ritual terwujud dalam tiga hal, yaitu ritual lingkaran hidup, tulak bala (menolak bahaya), dan upacara adat.

1. Pada upacara ritual lingkaran hidup, antara lain:
  • Ritual pada saat melahirkan. Saat bayi lahir disambut dengan adzan. Teman bayi yang disebut adoi (ari-ari) dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan disertai aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam di sekitar rumah baik di halaman, di samping, maupun di belakang. Selama satu minggu, di tempat ari-ari ditanam, dinyalakan api unggun. Ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti adanya orang tertentu yang ingin mengambil ari-ari (dengan bantuan hantu jahat), dan digunakan untuk menyakiti sang bayi atau orang lain. Selain itu, untuk menangkal roh jahat, ureung Aceh juga meletakkan gunting dan pisau di bawah ayunan sang bayi (Sufi dkk, 1998/1999; 79).
  • Ritual memandikan mayat. Apabila kematian terjadi pada malam hari, dengan sendirinya orang berjaga sampai pagi hari. Selain dijaga, mayat secara simbolis dipersenjatai dengan sebuah pisau kecil yang ditaruh di bawah bantalnya, untuk melawan jin-jin jahat. Sebuah lampu dari lentera juga diletakkan di dekatnya, simbol agar mayat selalu dalam keadaan terang. Penjagaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai mayat dilangkahi oleh kucing (pusa). Masyarakat meyakini, apabila mayat dilangkahi kucing, maka roh yang mati akan menjelma menjadi hantu.
  • Saat penguburan mayat. Setelah sampai ke lokasi kuburan, mayat diletakkan di pinggir lubang kubur. Kemudian mayat diangkat dengan perlahan-lahan sambil dipayungi, terus dimasukkan ke dalam kubur. Sebelum ditimbun dengan tanah, semua ikatan bungkusan mayat dilepaskan. Tindakan ini dilakukan karena ada anggapan bahwa jika tidak dibuka ikatannya, maka roh dari mayat itu akan jadi buroung punjeot (setan berbalut). Burong adalah roh manusia yang mati karena terpaksa dan selalu mengganggu manusia. Orang-orang yang meninggal karena terpaksa misalnya mati karena dibunuh, ditimpa kayu, mati hanyut dibawa air, mati sewaktu melahirkan, rohnya akan menjadi burong, yang suka mengganggu manusia lainnya, kadang-kadang burong ini dipuja oleh seseorang manusia agar dapat menjadi kawannya dan dapat disuruh untuk berbuat jahat (Umar dkk. 1984; 49).

2. Pada ritual tulak bala (menolak bahaya), antara lain:
  • Kanduri atau kenduri ini lazimnya dilakukan pada setiap hari Rabu terakhir bulan safar (buleuen safa) yang dianggap bulan panas dan banyak penyakit (Sufi dkk, 1998/1999; 80). Kenduri tulak bala (menolak bahaya) umumnya dilakukan di tempat-tempat tertentu, seperti pada kuala krueng (muara sungai) atau pada pohon-pohon besar. Tujuannya adalah agar hantu di tempat itu tidak mengganggu manusia yang melewati tempat tersebut. Kenduri dilakukan dengan mengundang beberapa orang, dan dipimpin oleh seorang teungku meunasah untuk bersama-sama membaca ayat-ayat Al Quran (tahlil), sambil menghadap sesajen berupa nasi tumpeng, ayam panggang, dan bunga untuk nyekar di kuburan. Setelah selesai berdo‘a mereka makan bersama nasi tumpeng dan ayam panggang tersebut.
  • Tangkal hantu untuk wanita yang sedang hamil, yaitu dengan memakai tangkal atau azimat. Biasanya terbuat dari benda-benda atau ayat-ayat suci Alquran yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Benda-benda yang digunakan biasanya adalah gunting dan pisau, keduanya dianjurkan untuk dibawa perempuan yang sedang hamil saat pergi ke sumur atau dapur. Dapat juga menggunakan benang tujuh warna yang sudah dirajah (diberi mantera) oleh dukun yang mempunyai piuleimee (ilmu). Benang diikatkan pada pinggang, leher atau pergelangan tangan kanan perempuan yang sedang hamil. Jika ini sudah dilakukan, maka perempuan yang hamil dapat pergi ke mana saja dengan aman.

3. Pada upacara adat, antara lain:
  • Kanduri laot bagi masyarakat nelayan di sepanjang pantai, yaitu dengan melemparkan sesajen berupa daging kerbau bersama nasi ke tengah laut (berjarak lebih kurang 1-1,5 mil dari pantai). Tradisi ini bertujuan agar roh jahat di laut tidak mengganggu para nelayan dalam mencari ikan di laut. Gangguan itu dapat berupa gelombang pasang dan angin ribut, yang dapat menenggelamkan kapal nelayan (Sufi dkk, 1997; 37).
  • Kanduri we lhueng atau babah lhueng, yaitu kenduri saat air dialirkan ke sawah, dengan memotong kambing atau kerbau, nasi dan lauk pauk untuk di makan bersama. Bertujuan agar tanaman subur dan dijaga roh baik.
  • Kanduri geuba geuco di kuburan keramat. Bertujuan agar padi terhindar dari hama dan hasil panen yang bagus, atas berkah roh yang baik.
  • Kanduri pade baro, ritual seusai panen. Bertujuan untuk mengambil berkah dan ucapan syukur pada roh baik atas hasil panen.
  • Kanduri gunung di gunung. Bertujuan agar terhindar dari musibah gunung, misalnya musibah gunung meletus dan hantu jahat.

c. Pengaruh pada proses pendidikan, antara lain:
  • Keyakinan pada hantu jahat juga sering dijadikan alat oleh para orangtua Aceh untuk mendidik anaknya agar mengaji (membaca Al Quran), sembahyang dan belajar. Menurut para orangtua, setan atau jin jahat takut dengan orang yang pandai mengaji. Biasanya jika dibacakan ayat Al Quran, maka setan atau jin jahat tidak akan mengganggu.
  • Pengetahuan pada hantu juga dijadikan alat untuk mendidik anak-anak perempuan Aceh, agar mereka tidak keluar malam, karena perempuan yang keluar malam dianggap tidak baik. Malam adalah waktunya untuk mengaji dan belajar di rumah. Meskipun di perkotaan sekarang anak perempuan banyak yang keluar malam, namun ajaran ini masih banyak ditaati oleh anak-anak perempuan di gampong-gampong Aceh.

Penutup

Bagi ureung Aceh, hantu ternyata tidak selamanya buruk dan harus ditakuti. Dari implikasi sosial yang ada, pengetahuan ureung Aceh tentang hantu tampak mempunyai nilai-nilai yang positif, seperti menghormati mayat, menjaga bayi, menjaga perempuan, syukur terhadap Tuhan atas tanaman dan buah-buahan yang mereka tanam, menghormati alam, berhati-hati dengan penyakit, serta nilai pendidikan anak. Semoga nilai-nilai ini tetap dimaknai dengan baik, walaupun terus terjadi transformasi pengetahuan baru yang diterima ureung Aceh.

Perang Aceh Dalam Ingatan Bangsa Belanda


-----

Tentu saja ada juga suara-suara yang kritis tentang Perang Aceh, di antaranya dari Multatuli yang sudah kita kenal, yang tanpa basa-basi menulis sebuah surat 'kepada Raja' sebagai berikut, ”Gubernur Jendral Anda (James Loudon-Red) saat ini berada pada posisi untuk memaksakan kehendaknya dengan mengumandangkan perang pada Sultan Aceh, dengan alasan yang dibuat-buat, seolah-olah sebagai suatu tindakan yang wajar dilakukan, dengan tuntutan agar Sultan Aceh menyerahkan kedaulatannya. Hal ini sama sekali tidak terhormat, tidak bermartabat, tidak dapat dipahami.” (9)

Saya juga sudah menyebut tentang ’Wekker’, seorang polisi menulis 17 artikel kritis di koran Den Haag ’De Avondpost’. Artikel-artikel yang menimbulkan keresahan di Belanda, setidaknya di parlemen. Namun persoalan ini dianggap tidak ada dan tidak dicari pemecahannya. Para penulis seperti Zentgraff sebelum Perang Dunia Kedua (10) dan van ’t Veer (11) dan Bossenbroek (12) tidak menghargai keterlibatan KNIL dalam Perang Aceh. Salah satu kutipannya, ”Kampung Kuto Reh yang diserang, 11 Juni 1904. Dua Belanda tewas. Aceh kehilangan 313 pria, 189 wanita, 59 anak-anak.”

Komandan Van Daalen memerintahkan agar jenazah yang bergelimpangan difoto. Seorang Letnan bernama Colijn yang beragama Kristen menulis kepada istrinya dalam Bahasa Belanda sehari-hari, ”Pekerjaan yang tidak menyenangkan tetapi tidak ada pilihan lain. Para serdadu berpesta menghujani mereka dengan bayonet.”.

Setelah tahun 1945 muncul perhatian dari berbagai pihak tentang Perang Aceh. Misalnya Madelon Székely-Lulofs yang menulis roman tentang pejuang Aceh Cut Nya Dien (14). Atau roman yang menggugah berjudul Wisselkind yang terbit tahun 1998 yang ditulis Basha Fabers (15). Paul van ’t Veers dengan karyanya yang menawan berjudul De Atjeh-oorlog (Perang Aceh) tahun 1869 (16). Atau buku De verbeelding van een koloniale oorlog (Gambaran sebuah perang kolonial) tahun 2001 yang disusun oleh Liesbeth Dolk (17) berisi tulisan sepuluh penulis yang menggambarkan Aceh melalui pers, literatur, seni dan film.

Ingatan tentang Perang Aceh sesudah 2001 tidak berhenti begitu saja, oleh sebab itu perlu ditelaah aktualisasinya. Pada tahun 2004 muncul skripsi doktoral yang tidak begitu dikenal yang ditulis oleh Lucia Hogervorst, van etnocentrisme naar cultuurrelativisme (18) (Dari Etnosentrisme ke Relativitas Budaya). Isinya mengenai pendapat umum di Belanda setelah tahun 1945 tentang sejarah kolonial. Beliau mendasarkan penelitiannya antara lain pada buku sejarah di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada tahun 1950-an, 70-an dan 90-an tentang Perang Aceh.

Setelah itu ia mengukuhkan pendapatnya sekali lagi melalui tulisannya De (niet te) vergeten oorlog in Atjeh (Perang di Aceh yang (tidak untuk) Dilupakan) melalui penerbitan khusus pada tahun 2010 untuk memperingati ’65 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua’(19). Pendidikan Protestan pada tahun 1950-an menceritakan kisah tentang seorang Sultan Aceh (seorang bangsawan yang berdaulat - Red) yang tidak mau tunduk pada Pemerintah Belanda dan masyarakat Aceh yang dipandang sebagai para bajak laut yang beringas, oleh sebab itu mereka harus dikoreksi.

Maka anggapan ‘harus dikoreksi’ inilah yang menjadi alasan mengapa Belanda menduduki Aceh (‘menduduki’ bagi Aceh sama dengan menyerang dan menjajah- Red). Buku sejarah di sekolah Katolik nyaris tidak memberi informasi tentang Perang Aceh itu sendiri tetapi menceritakan ratusan kali tentang Pendeta Verbraak yang bertahun-tahun bertugas menangani ‘jiwa-jiwa damai para pemberani’.

Buku itu memuji perjuangan para serdadu Pasukan Hindia-Belanda yang pemberani. Dengan perjuangan berat para serdadu Belanda berhasil mengembalikan ketentraman di Aceh sementara orang Aceh sendiri ’sesekali’ masih melawan Belanda (‘mengembalikan ketentraman’seolah-olah Aceh yang pribumi sudah secara sah menjadi bagian dari Kerajaan Belanda- Red).

Tetapi murid sekolah sebenarnya tidak belajar bagaimana Belanda selama bertahun-tahun menjadi bagian dari petualangan keserakahan, bersaing dan berseteru dengan sesama negara Eropa lain untuk mencari keuntungan dan kekayaan di belahan dunia lain yang jauh dan belum dikenal. Orang Belanda yang baik harus mencari keuntungan, bukan dengan jalan kebaikan tetapi dengan menimbulkan banyak kerusakan. Maka Aceh pun menjadi korban dari keserakahan itu.

Kepada rakyat Belanda dikatakan bahwa pendudukan dilakukan untuk mengakhiri bajak laut di Aceh. Kepada Amerika dan negara Eropa lain menurut kabar burung (yang tidak diuji kebenarannya) dikatakan bahwa tindakan itu dilakukan untuk mempersiapkan kesepakatan yang menguntungkan dengan Sultan Aceh dan untuk mengambil alih wilayah kekuasaannya.

Maka Gubernur Jendral di Batavia secara tergesa mengumumkan perang dengan Sultan Aceh dan mendaratlah pasukan ekspedisi Belanda pada tanggal 8 April 1873 di Aceh. Tetapi ketika Jendral Belanda, Köhler, yang berkuasa tewas terbunuh di bawah pohon geulumpang dekat Masjid Raya di Kutaraja maka tewas pula kekuasaannya dan ekspedisi pertama itu pun gagal.

Pada tahun 1874 terjadilah Perang Aceh Kedua di bawah pimpinan Jendral van Swieten yang pensiun namun diaktifkan kembali. Ketika kerajaan milik Sultan Aceh diduduki, dengan penuh kemenangan beliau mengirim pesan ke Belanda ‘kerajaan sudah kita duduki’, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah kerajaan itu kosong melompong dan burung-burung pun beterbangan dari dalamnya.

Sesudah itu diikuti oleh tahun-tahun penuh kritik terbuka dari para bawahan di antara yang menonjol adalah Kapten Borel. Muncul lagi seorang jenderal baru, kali ini dengan taktik pertahanan 16 benteng di sekitar Kutaraja. Mereka bertahan selama bertahun-tahun dengan cara bersembunyi di benteng-benteng tersebut, demikian menurut Snouck Hurgronje.

Kemudian muncul Jendral Karel van der Heijden, alias Kareltje Eénoog (Karel Bermata Satu), setelah beliau kehilangan satu matanya dalam peperangan. Taktiknya adalah ‘hukuman sebagai pelajaran’, dengan kata lain ribuan orang Aceh dibunuh dan ratusan kampung di Aceh habis dibakar, tetapi kemenangan perang tetap tidak tercapai. Kemudian diikuti oleh Jendral Van Heutsz yang kali ini mendapat giliran. 

Terinspirasi oleh visi spesialis Islam asal Belanda, Snouck Hurgronje, beliau menjalankan taktik aksi kontra gerilya yang bergerak ofensif secara berkala ke pedalaman Aceh yang bergunung-gunung, yang untuk beberapa waktu lamanya belum terjamah manusia.

***

Anda bisa membayangkan Van Heutsz, dengan tangan di belakang, perut buncit, memberi kesan sebagai seorang militer superior yang arogan. Tetapi di bawah kepemimpinan penerus Van Heutsz, yaitu Van Daalen, baru terjadi perubahan.


Selama ‘ekspedisi’nya ke pedalaman Gayo dan Alas, semua isi kampung dibunuh. Van Daalen dan pasukannya memerintahkan agar apa yang mereka lakukan diabadikan melalui foto, dengan penuh kebanggaan, yaitu tumpukan mayat dengan seorang anak lelaki yang kebetulan selamat dari huru-hara itu disampingnya.

Para pejabat Belanda yang dipermalukan oleh Van Daalen menulis secara anonim kenyataan yang mencengangkan itu di koran-koran Belanda. Para anggota Parlemen yang terkejut (di antaranya Victor de Stuers) mengkritik bahwa ’Pemerintah menyebutnya ekskursi, tetapi saya menyebutnya sejarah pembunuhan’. Koran Het Volk menulis pada tanggal 17 Juli 1904 ‘sebuah negara yang beradab dan berperikemanusiaan tidak seharusnya menyanjung seseorang (Van Heutsz) yang telah menumpahkan darah’.

Maka dalam sekejap berubahlah gambaran tentang negara Belanda yang beradab yang bukan melancarkan perang melainkan pasifikasi dan mengembalikan ketenangan serta menegakkan peraturan, menjadi negara Belanda yang berkhianat, tidak dapat dipercaya, terbius oleh opium dan seks. Tiba-tiba orang-orang Belanda bukan pahlawan lagi melainkan para pembunuh massal.

Sejak tahun 1970-an buku-buku sejarah tidak lagi menampilkan kisah-kisah kepahlawanan melainkan informasi berdasarkan fakta yang ditulis secara singkat, contohnya ’setelah perjuangan berdarah selama bertahun-tahun maka Aceh berhasil dikuasai. Banyak korban pribumi yang jatuh’. Pada tahun 1990-an ditulis demikian ’hingga tahun 1900 orang Belanda hanya ingin mencari untung di Indonesia.

Lalu pada tahun 1873 orang Belanda ingin menguasai Aceh karena di sana banyak sumber minyak dan gas sehingga orang Belanda harus melancarkan perang. Orang Aceh melakukan perlawanan’ (yang benar adalah orang Aceh yang pecinta kemerdekaan ingin tetap merdeka, maka dengan segala kekuatan mereka menolak agresi Belanda. Itu berbeda artinya dengan melakukan perlawanan- Red).

 Ketika akhirnya orang Aceh berhenti melawan, hal itu bukan menyerah seperti yang dipikirkan Belanda, tetapi mereka ’mencuri’ waktu untuk kelak bersama-sama dapat bangkit lagi dan mengusir Belanda dari Kutaraja sesaat sebelum Jepang menyerang Aceh pada bulan Maret 1942. Sebagaimana yang dicatat sejarah.

Pameran Van heldendaad tot schandvlek – het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan -  Penjajahan Belanda di masa lalu dalam buku sejarah) di Museum Pendidikan Nasional di Rotterdam tahun 2005 mendapat inspirasi dari skripsi doktoral Lucia Hogervorst. Pameran yang sama pada tahun 2006 digelar di Museum Bronbeek di Arnhem dengan menggunakan judul Het Nederlands koloniaal verleden in de geschiedenisboekjes(Pejajahan Belanda di Masa Lalu dalam Buku Sejarah).

Foto (1) Kontroversi - (Klik untuk memperbesar)

Judul Van heldendaad tot schandvlek (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan) tampaknya tidak dapat diterima di Arnhem karena dianggap terlalu peka untuk para pejuang Bronbeek. Kepekaan yang sama juga tercermin melalui komentar-komentar pers tentang pameran di Rotterdam seperti dalam koran NRC dan Nederlands Dagblad yang berkiblat Protestan.

Bagaimana di Aceh? Pada awalnya Aceh bersikap antusias setelah Perang Dunia Kedua dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi tak lama kemudian Aceh segera menyadari munculnya kolonialisme Jakarta. Maka dimulai lagi perjuangan kemerdekaan yang sengit selama bertahun-tahun. Tiba-tiba terjadi tsunami tahun 2004, sebuah tragedi di luar batas kemanusiaan.

Tetapi Perang Kolonial Belanda di Aceh tampaknya berhasil bertahan dari bencana itu.  Puisi-puisi kepahlawanan masih ditemukan (20). Contoh yang menarik misalnya Hikayat Perang Sabil dari Abad ke-19. Hikayat bercerita tentang perang mempertahan diri yang terjadi di Aceh melawan penjajah Belanda yang agresif dan dengan cepat menarik simpati orang Aceh yang beragama Islam. Pesan Hikayat yang kuat sangat sesuai dengan jiwa perjuangan rakyat Aceh.

Hikayat menyerukan agar rakyat Aceh melancarkan perang jihad melawan orang Belanda yang tidak beragama. Di bawah kekuasaan Belanda yang tidak beragama maka rakyat Aceh tidak dapat lagi menjalankan keyakinan mereka. Pembunuhan dan kematian akan terjadi di mana-mana. Keyakinan mereka, Islam, akan diancam oleh penjajah. Adat istiadat mereka juga akan dilarang. Belum lagi persoalan perilaku para serdadu Belanda yang tidak bermoral, pemerkosaan dan lain-lain.

Setiap orang Aceh, setiap pria dan wanita dan anak-anak dengan demikian harus berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajah. Perang melawan Belanda adalah perang seluruh rakyat. Imbalannya, surga. Jika tidak berpartisipasi maka hukumannya adalah api neraka. Satu hari bertempur melawan Belanda mendapat pahala jauh lebih besar daripada seribu hari naik haji di Mekah. Jihad adalah cara kematian yang terindah. Karena setiap orang ikut bertempur maka sulit untuk memisahkan para pejuang dengan yang bukan pejuang.

Tetapi ketika orang-orang Belanda setelah perang selama 30 atau 40 tahun menjadi semakin kuat dan tampaknya dekat dengan kemenangan, maka Aceh menyerahkan diri pada Belanda, namun dengan syarat bahwa orang-orang Belanda pertama-tama harus mengakui Islam sebagai agama mereka. Jika Aceh menyerahkan diri, tidak berarti sebagaimana yang kita pahami sebelumnya bahwa mereka juga rela dikuasai. Penyerahan diri itu hanya merupakan taktik untuk membenahi kekuatan. (bersambung)


(Penulis Nico Vink, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat)

Penulis adalah dosen HEAO (Den Haag), dosen Fakultas Obyek Indutrial/Teknik Universitas Delft, dosen tamu di Kopenhagen, Trondheim dan Oslo, Lódz/Polen, Tokaj/Japan, AGSIM (Phoenix USA) dan penulis buku Verbannen uit Indie (1936-1945) Walburg Pers Zutphen, 2007.