Sabtu, Mei 24, 2014

Si Ceudah Rupa dari India



Bungong Jeumpa,
Bungong Jeumpa,
Meugah di Aceh,
Bungong teuleubèh,
teuleubèh indah lagoina,
Putéh kunèng,
meujampu mirah,
Bungong si ulah indah lagoina,
Putéh kunèng,
meujampu mirah,
Bungong si ulah indah lagoina..

BAGI orang Aceh lirik itu tentu tak asing lagi. Tanpa menyebutkan judul, orang Aceh sudah menghafalnya. Secara harfiah, lagu ini menceritakan sekuntum bunga indah rupawan perpaduan warna putih dan kuning bernuansa kemerahan. Jika merujuk tentang kembang, syairnya adalah tentang “Bungong Jeumpa (Bunga Jeumpa)” yang memang sangat populer di Aceh, bahkan sudah menjadi maskot flora Provinsi Aceh. Namun, apakah hanya kepopuleran itu saja yang menginspirasi seniman menciptakan lagu yang tetap hidup di tengah masyarakat Aceh hingga kini? Beberapa referensi menyebutkan, Jeumpa bukan bunga biasa. Tumbuhan purba ini menjadi identitas perempuan Aceh. Aromanya yang harum dianggap mewakili keperkasaan perempuan Aceh yang tak hanya hidup sebagai pelengkap bagi pria. Disebutkan, identitas itu sudah ada sejak zaman Kerajaan Pasai. Konon, di masa itu ada Putri Jeumpa yang terkenal molek dan cerdas. Kecantikannya diibaratkan perpaduan Arab, Parsi, India, dan Melayu. Si Putri berkulit putih kuning kemerah-merahan. Mirip lirik dalam lagu “Bungong Jeumpa”. Jeumpa juga menjadi nama sebuah kerajaan di abad ke-7 Masehi, yaitu Kerajaan Jeumpa yang dipimpin Raja Jeumpa. Penulis Ibrahim Abduh dalam sebuah karyanya yang disadur dari hikayat “Radja Jeumpa” menyebutkan, kerajaan ini berada di sekitar perbukitan, mulai dari pinggir Sungai Peudada sampai Pante Krueng Peusangan. Istana Radja Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeueng, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Dikisahkan, pada masa pra-Islam, di daerah itu berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun-temurun oleh seorang Meurah. Kemudian datang seorang pemuda bernama Abdullah yang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng melalui Kuala Jeumpa dengan kapal niaga dari India belakang (Parsi) untuk berdagang. Abdullah menetap dan menyebarkan Islam. Ia dinikahkan dengan putri raja bernama Ratna Kumala. Setelah mertuanya meninggal, Abdullah menggantikan posisi raja. Wilayah kekuasaan Abdullah kemudian diberi nama Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India belakang (Persia) yang bernama Champia, artinya harum, wangi, dan semerbak. Sebetulnya cerita itu juga menyiratkan, Bungong Jeumpa bukanlah tanaman endemik di Aceh. Bunga itu dipercaya berasal dari India dengan nama Champaca Champa. Mirip nama asli kerajaan di masa pra-Islam. Bahkan, bunga itu tak hanya di Aceh, tapi juga ada di Jawa, Bali, Sulawesi, hingga Maluku, dengan nama yang berbeda-beda. Di Vietnam bunga ini dirawat dengan baik, namanya Su Nam atau Su Ngoc Lan. Kendati demikian, hanya Aceh yang menabalkan bunga ini sebagai simbol flora provinsi.  Bagi masyarakat Aceh bunga ini sangat istimewa. Bentuk yang anggun dan keharuman yang tajam menjadikannya sebagai lambang kesucian dan identitas. Orang tua zaman dulu sering menyelipkan kuntum Bungong Jeumpa di gulungan rambutnya atau di saku baju sebagai parfum alami. Di upacara-upacara adat seperti pesta perkawinan dan kematian, bunga ini juga sering digunakan untuk wewangian. Sering juga dicampur dengan minyak kelapa untuk meminyaki rambut atau sebagai minyak gosok. ***


LAMAN Wikipedia menjelaskan, Bungong Jeumpa merupakan tumbuhan purba, dapat dianggap sebagai fosil yang hidup karena asal-usulnya dapat ditelusuri hingga 95 juta tahun lalu. Bungong Jeumpa menyembul di pucuk dedaunan pohon yang tingginya dapat mencapai 25 meter dan diameter 50 sentimeter. Batangnya lurus, bulat, dengan kulit batang halus cokelat keabu-abuan, sedangkan cabangnya tumbuh tidak teratur. Daun-daunnya tumbuh berselang-seling dan tunggal. Permukaan daun di bagian bawah berbulu halus dan memberikan sensasi lembut jika disentuh. Pohon ini juga memiliki buah berwarna cokelat yang terdiri dari 2-6 biji dan terangkai dalam karangan yang banyak seperti anggur. Setelah tersebar, biji-bijinya akan tumbuh dalam waktu sekitar tiga bulan, selanjutnya mulai berbunga pada usia 4-5 tahun. Minyak atsirinya digunakan sebagai bahan parfum dan kosmetik. Selain sebagai bahan baku parfum, batangnya juga berguna untuk industri mebel. Sementara bunga dan akarnya konon juga bermanfaat untuk obat-obatan. Jeumpa Kunèng atau Cempaka Wangi merupakan satu dari sekitar 50 spesies anggota genus Michelia. Di Aceh, selain Jeumpa Kunèng, masyarakat juga mengenal Jeumpa Putéh (Michelia Alba). Spesies ini merujuk pada Cempaka berdasarkan kemiripan rupa dan aromanya. Jeumpa Putéh ini dalam masyarakat Jawa dikenal dengan nama Kantil dan menjadi maskot flora Provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga ada Cempaka Gondok (Magnolia Liliifera) dan Cempaka Mulia (Magnolia Figo, sinonim dari Michelia Figo (Lour.) Spreng). Karena bentuknya yang indah, bunga ini juga menjadi tanaman hias yang dibudidayakan.  *** DI Banda Aceh, Bungong Jeumpa Kunèng hampir dapat dikatakan langka. Taman-taman kota yang umumnya melestarikan beberapa jenis bunga, ‘lupa’ melestarikan Bungong Jeumpa Kunèng. Bunga yang dalam bahasa Indonesia disebut Bunga Cempaka itu juga tidak terlihat di taman bunga di gedung-gedung milik pemerintah dan di halaman-halaman rumah warga. Di Museum Aceh ada taman mungil ditanami beberapa jenis bunga, termasuk Bunga Cempaka. Namun sayang, Cempaka yang ditanami bukanlah khas Aceh atau Bungong Jeumpa Kunèng, melainkan Bungong Jeumpa Putéh yang merupakan flora khas Jawa Tengah.



Di Museum Tsunami, di antara bunga-bunga yang dikoleksi di sana tidak terlihat Bungong Jeumpa Kunèng. Bungong Jeumpa Kunèng juga tidak tampak di antara jenis bunga yang ditanami di Masjid Raya Baiturrahman. Di Kantor Gubernur Aceh di Jalan Teuku Nyak Arif, Bungong Jeumpa Kunèng juga tak terlihat. Petugas Satpam yang berdiri di gerbang pintu masuk mengatakan, sejak dirinya bertugas di kantor itu tidak pernah dilihatnya Bungong Jeumpa Kunèng. Berbeda dengan beberapa lokasi di atas, di kompleks Gunongan yang terletak di Jalan Teuku Umar, Bunga Cempaka tampak berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalan di kompleks itu. Cempaka yang terlihat masih kecil itu baru ditanami beberapa waktu lalu. Bungong Jeumpa Kunèng mungkin tidak ditanami di taman kota, tidak juga di taman milik gedung-gedung yang menjadi ikon Aceh. 

Jumat, Mei 02, 2014

Putroe Neng, "Legenda Puteri Bersuami 100"

Menikahi Putroe Neng yang cantik jelita merupakan sebuah kebanggaan bagi banyak lelaki bangsawan. Kebanggaan itu sering dilampiaskan dalam kalimat, “Nanti malam aku akan tidur dengan Putroe Neng...”. Namun, hampir tidak ada lelaki yang berhasil mengatakan, “Tadi malam aku tidur dengan Putroe Neng...!”. Malam pertama selalu menjadi malam terakhir bagi 99 lelaki yang menjadi suami Putroe Neng.




Nian Nio Lian Khie begitulah nama aslinya, Seorang komandan perang wanita berpangkat Jenderal dari china budha, Seorang perempuan yang dikalahkan oleh pasukan meurah johan seorang ulama yang berasal dari kerajaan pereulak yang pada saat itu mereka berada di indra purba yang bercocok tanam di daerah maprai (sibreh sekarang) dan mereka membuka kebun lada dan merica pada saat itu setelah dikalahkan, jenderal Nian Nio Lian Khie memeluk islam dan namanya diberi gelar yaitu sebagai PUTROE NENG. 

Kekalahan dalam peperangan di Kuta Lingke telah mengubah sejarah hidup Putroe Neng, perempuan cantik dari Negeri Tiongkok. Dari seorang maharani yang ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja (Sumatera), ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politis. 

Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat. 

Sebagian masyarakat Aceh mendengar kisah Putroe Neng dari penuturan orang tua. Konon Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki untuk memperistri perempuan itu. Padahal, tidak mudah bagi Putroe Neng untuk menerima pinangan setiap lelaki. Ia memberikan syarat berat seperti mahar yang tinggi atau pembagian wilayah kekuasaan (Ali Akbar, 1990).

Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam yang selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. Racun tersebut dimasukkan ke dalam bambu dan dipotong menjadi dua bagian. "Satu bagian dibuang ke laut, dan bagian lainnya dibuang ke gunung," tutur penjaga makam Putroe Neng, Cut Hasan.

Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat. Setelah racun tersebut keluar, cahaya kecantikan Putroe Neng meredup. Sampai kematiannya, dia tidak mempunyai keturunan. Sulit mencari referensi tentang Putroe Neng. Sejumlah buku menyebutkan dia bernama asli Nian Nio Liang Khie, seorang laksamana dari China yang datang ke Sumatera untuk menguasai sejumlah kerajaan. Bersama pasukannya, ia berhasil menguasai tiga kerajaan kecil; Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar. Beberapa benteng bekas ketiga kerajaan tersebut masih ada di Aceh Besar sampai sekarang.

Namun, Laksamana Nian Nio kalah ketika hendak menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang meminta bantuan kepada Kerajaan Peureulak. Bantuan yang diberikan Kerajaan Peureulak adalah pengiriman tentara yang tergabung dalam Laskar Syiah Hudam pimpinan Syekh Abdullah Kana'an. Jadi, Syiah Hudam sesungguhnya adalah nama angkatan perang yang menjadi nama populer Abdullah Kana'an. Merujuk sejarah, pengiriman bala bantuan itu terjadi pada 1180 Masehi. Bisa disimpulkan pada masa itulah Putroe Neng hidup, tetapi tak diketahui pasti kapan meninggal dan bagaimana sejarahnya sampai makamnya terdapat di Desa Blang Pulo, Lhokseumawe.

Meski tak bisa menunjukkan makamnya, di mata Cut Hasan kematian 99 suami Putroe Neng bukanlah mitos. Ia mengaku mengalami beberapa hal gaib selama menjadi penjaga makam. Ia bermimpi berjumpa dengan Putroe Neng dan dalam mimpi itu diberikan dua keping emas. Paginya, Cut Hasan benar-benar menemukan dua keping emas berbentuk jajaran genjang dengan ukiran di setiap sisinya. Satu keping dipinjam seorang peneliti dan belum dikembalikan. Sementara satu keping lagi masih disimpannya sampai sekarang.

Menurut budayawan Aceh, Syamsuddin Djalil alias Ayah Panton, kisah kematian 99 suami hanya legenda meski nama Putroe Neng memang ada. Menurutnya, kematian itu adalah tamsilan bahwa Putroe Neng sudah membunuh 99 lelaki dalam peperangan di Aceh.

"Sulit ditelusuri dari mana muncul kisah tentang kemaluan Putroe Neng mengandung racun," ujar Syamsuddin Jalil saat ditemui di rumahnya di Kota Pantonlabu, Aceh Utara, Selasa (26/4). Ali Akbar yang banyak menulis buku sejarah Aceh, juga mengakui kisah kematian 99 lelaki itu hanyalah legenda.

Makam Putroe Neng yang terletak di pinggir Jalan Medan-Banda Aceh (trans-Sumatera), memang sarat dengan kisah gaib. Misalnya, ada kisah seorang guru SMA yang meninggal setelah mengambil foto di makam tersebut. Ada juga yang mengaku melihat siluet putih dalam foto tersebut atau foto yang diambil tidak memperlihatkan gambar apa pun. Sayangnya, berbagai kisah gaib itu, plus legenda kematian 99 suami Putroe Neng pada malam pertama, tidak menjadikan makam tersebut menjadi lokasi wisata religi sebagaimana makam Sultan Malikussaleh di Desa Beuringen Kecamata Samudera, Aceh Utara.

Pemerintah Kota Lhokseumawe belum menjadikan makam Putroe Neng sebagai lokasi kunjungan wisata. Suvenir tentang Putroe Neng tidak ada sama sekali. Para pengunjung yang datang ke makamnya hanya sebatas peneliti dan segelintir masyarakat yang pernah mendengar kisah Putroe Neng. Rendahnya kepedulian terhadap makam Putroe Neng, bisa terlihat dari kondisi makam tersebut yang nyaris tak terawat. Di dalam komplek berukuran sekitar 20 x 20 meter tersebut, terdapat 11 makam, termasuk milik Putroe Neng tetapi selebihnya tidak diketahui milik siapa.

Menurut Teungku Taqiyuddin, seorang peneliti yang getol menggali sejarah Kerajaan Samudera Pasai, dari tulisan yang terdapat di batu nisan, diyakini makam-makam tersebut milik ulama syiah. Lantas, benarkah makam yang selama ini diyakini milik Putroe Neng sahih adanya?

Teungku Taqiyuddin mengaku belum mendapatkan jawaban sehingga keyakinan masyarakat tentang kebenaran makam tersebut belum bisa dipatahkan. "Siapa tahu dengan banyaknya penelitian nanti akan terjawab," kata Teungku Taqiyuddin. Menurutnya, bisa jadi karena ada makam Putroe Neng di sana, kemudian berkermbang cerita tentang kematian 99 suami atau bisa saja kisah itu sudah melegenda sejak lama. 

Sekitar 200 meter arah selatan makam Putroe Neng, terdapat makam suami ke-100, Syiah Hudam yang terletak di atas bukit perbukitan. Jalan menuju Makam Syiah Hudam sangat tersembunyi, sehingga pengunjung harus bertanya kepada masyarakat setempat karena tidak ada penunjuk jalan. Program Visit Aceh 2011 yang digaungkan Pemerintah Aceh ternyata tidak didukung dengan perbaikan infrastruktur.