Jumat, Januari 06, 2012

Penerapan Pancasila Di Aceh Dulu Hingga Sekarang (II)



Pada permulaan bulan September 1954, genap setahun sesudah pecahnya Peristiwa Daud Beureuh, seperti halilintar di tengah hari ma-syarakat Indonesia di Ibukota RI termasuk Kabinet Ali Sostroamidjojo dikejutkan oleh munculnya seorang putera Aceh bernama Hasan Muhammad Tiro berdiam di New York, sebagai mahasiswa fakultas hukum pada Colombia University , dan sebagai seorang staf perwakilan Indonesia di New York, dia tidak pernah dikenal oleh masyarakat Indonesia apalagi oleh masyarakat internasioanal. Ia bertempat tinggal di 454 Riverside Drive, New York dan mempunyai kantor di jalan terbesar yaitu di 489 Fifth Avenue, New York 17. 

Sejak bulan September 1954 dengan tiba-tiba nama Hasan Muhammad Tiro bukan saja dikenal oleh masya-rakat Indonesia, akan tetapi juga oleh dunia internasional. Ia muncul sebagai “Duta Besar Republik Islam Indonesia” di Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan sebuah surat terbuka kepada Perdana Ali Sostroamidjojo. Surat ini disiarkan oleh suat-surat kabar Amerika dan surat-surat kabar Indonesia yang terbit di Jakarta seperti Abadi, Indonesia Raya dan Keng Po.

Dalam surat ini Hasan Muhammad Tiro menuduh Pemerintah Ali Sostroamidjojo telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan dan perang saudara, serta memaksa mereka bunuh-membunuh sesama saudara. Di samping itu pemerintah Ali Sostroamidjojo telah melakukan pula kejahatan-kejahatan genocide terhadap rakyat sipil Aceh. 

Suatu tindakan biadab dan primitif yang dilakukan oleh sebuah rezim negara Republik modern di bawah naungan Pancasila di mana hal ini sudah tentu teramat sangat bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Isi surat Hasan Muhammad Tiro itu adalah sebagai berikut:
New York, 1 September 1954 
KepadaTuan Perdana Menteri Ali SastroamidjojoJakarta 
Dengan hormat, 
Sampai hati ini sudah lebih setahun lamanya Tuan memegang kendali pemerintahan atas tanah air dan bangsa kita. Dalam pada itu alangkah sayangnya, kenyataan-kenyataan sudah membuktikan bahwa Tuan, bukan saja telah tidak mempergunakan kekuasaan yang telah diletakkan di tangan Tuan itu untuk membawa kemakmuran, ketertiban, keamanan, keadilan dan persatuan di kalangan bangsa Indonesia, tetapi sebaliknya Tuan telah dan sedang terus menyeret bangsa Indonesia ke lembah keruntuhan ekonomi dan politik, kemelaratan, perpecahan, dan perang saudara.  
Belum pernah selama dunia berkembang, tidak walaupun di masa penjajahan, rakyat Indonesia dipaksa bunuh membunuh antara sesama saudaranya secara yang begitu meluas sekali sebagaimana sekarang sedang Tuan paksakan di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Ataukah zaman penjajahan baru sudah datang ke Indonesia di mana hanya kaum Komunis yang mengecap kemerdekaan, sedang yang lain-lain harus dibunuh mati? Lebih dari itu lagi, Tuan pun tidak segan-segan memakai politik “pecah dan jajah” terhadap suku-suku bangsa di luar Jawa.  
Bahkan untuk menghancurkan persatuan di kalangan suku bangsa Aceh, Tuan pun mengaku begitu membencinya. Tetapi ketahuilah, politik kotor Tuan ini bukan saja sudah gagal, bahkan karenanya, kami rakyat Aceh semakin bersatu padu menentang tiap penindasan dari regime Komunis – Fasis Tuan. 
Lebih rendah di segala-galanya, Tuan sekarang sedang melakukan kejahatan politik yang sejahat-jahatnya yang bisa di perbuat dalam negara yang terdiri dari suku-suku bangsa sebagai halnya Indonesia mengadu-dombakan satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain, mengadudombakan suku bangsa Kristen dengan suku bangsa Islam, suku Jawa dengan suku Ambon dan suku Batak Kristen dengan suku Aceh Islam. Dan Tuan mengatakan bahwa Tuan telah memperbuat semua ini atas nama persatuan nasioanal dan patriotisme! Rasanya tak ada suatu contoh yang lebih tepat dari pepatah yang mengatakan bahwa patriotisme itu adalah tempat perlindungan yang terakhir bagi seorang penjahat! 
Sampai hari ini sembilan tahun sesudah tercapainya kemerdekaan bangsa, sebagian besar bumi Indonesia masih terus digenangi darah dan air mata putera-puterinya yang malang, di Aceh, di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Sulawesi Tengah dan Kalimantan, yang kesemuanya terjadi karena Tuan ingin melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politik Tuan. Seluruh rakyat Indonesia menghendaki penghentian pertum-pahan darah yang maha kejam ini sekarang juga, dengan jalan musyawarah antara kita sama kita. Tetapi Tuan dan kaum Komunis lainnya, sedang terus mengeruk keuntung-an yang sebesar-besarnya dari kesengsaraan rakyat ini, dan hanya Tuan sendirilah yang terus berusaha memperpanjang agresinya terhadap rakyat Indonesia ini.  
Dan sekarang, belum puas dengan darah yang sudah tertumpah, harta benda yang sudah musnah, ratusan ribu jiwa yang sudah melayang, Tuan sedang merencanakan pula buat melancarkan agresi yang lebih hebat, dahsyat dan kejam lagi terhadap rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan dan Aceh. Tetapi Tuan akan menge-tahui dengan segera bahwa jiwa merdeka, harga diri, dan kecintaan suku-suku bangsa ini kepada keadilan, tidak dapat tuan tindas dengan senjata apa pun juga. Rakyat Indonesia sudah merebut kemerdekaannya dari penjajah Belanda. Pastilah sudah mereka tidak akan membiarkan Tuan merebut kemerdekaan itu dari mereka, juga tidak akan membiarkan Tuan menukarnya dengan penjajahan medel baru. 
Persoalan yang dihadapi Indonesia bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Tuanlah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Sebenarnya jika Tuan hari ini mengambil keputusan buat menyelesaikan pertikaian politik ini dengan jalan semetinya, yakni perundingan, maka besok hari juga keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air kita. 
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia, saya menganjurkan Tuan mengambil tindakan berikut: 
1. Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan. 
2. Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan rakyat Kalimantan. 
3. Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakar dan Ibnu Hajar. Jika sampai tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahn darah ini tidak mendapat perhatian Tuan, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan kekejaman agresi yang Taun kobarkan, saya dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
a) Kami akan membuka dengan resmi perwa-kilan diplomatik bagi “Republik Islam Indo-nesia” di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam;
b) Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis – Fasis Tuan terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan Komisi ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi;
c) Kami akan menuntut regime Tuan di muka PBB atas kejahatan genocide yang sedang Tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh;
d) Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh regime Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagainya;
e) Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap “Republik Islam Indonesia”, yang sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Tengan dan Selatan dan sebagian Kalimantan.
f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomasi dan ekonomi Internasional terhadap regime Tuan dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”;
g) Kami akan mengusahakan bantuan moral dan material buat “Republik Islam Indone-sia” dalam perjuangannya menghapus regime teroris Tuan dari Indonesia.
Dengan demikian terserah kepada Tuanlah, apakah kita akan menyelesaikan pertikaian politik ini secara antara kita atau sebaliknya. Tuan dapat memilih tetapi kami tidak! 
Apakah tindakan-tindakan yang saya ambil ini untuk kepentingan bangsa Indonesia atau tidak, bukanlah hak Tuan untuk menentukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan 80 juta rakyat Indo-nesialah yang akan menjadi Hakim, yang ke tengah-tengah mereka saya akan kembali di dunia, dan kehadiran-Nya saya akan kembali di hari kemudian. 
Saya
Hasan Muhammad Tiro

Surat ini lebih mirip surat seorang mujahid yang tegas dan senantiasa berada di pihak rakyat, di pihak kebenaran. Apa yang dituduhkan kepada Hasan Tiro telah mendirikan Gerakan Aceh Mer-deka adalah kebohongan terbesar dalam sejarah umat Islam di Aceh. Republik Islam Indonesia adalah buah pikir dari Kahar Muzakkar dari Sulawesi yang diteruskan oleh Hasan Muhammad Tiro. Dia tidak pernah berkeinginan untuk mem-bentuk Aceh merdeka, itu hanya rekayasa yang dibuat Nasakom Soekarno yang dilanjutkan oleh rezim “Golkar” Soeharto. 

Perhatian Hasan Muhammad Tiro hanya untuk kemanusiaan, khususnya mereka-mereka yang Muslim yang sering menjadi sasaran korban rekayasa politik pihak rezim “Komunis – Fasis” Orde Lama. Tindakan Kabinet Ali Sostroamidjojo dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang pertama untuk menghadapi tantangan Hasan Muhammad Tiro ini, ialah mencabut paspor diplomatik yang di-pegangnya. Tindakan ini telah menyebabkan Hasan Muhammad Tiro sejak 27 September 1954 di tahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Akan tetapi setelah membayar uang jaminan sebesar $ 500,00 Hasan Tiro dibebaskan kembali.

Kemudian, setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro yang tercantum dalam surat kepada Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo tidak diindahkam oleh Perdana Menteri tersebut maka ia atas nama Wakil “Republik Islam Indo-nesia” menyerahkan ke PBB dengan mengeluarkan sebuah pernyataan selain membantah tuduhan-tuduhan Hasan Muhammad Tiro menyatakan pula bahwa “Republik Islam Indonesia” yang diwa-kilinya itu merupakan suatu impian belaka.

Kesimpulan dari pernyataan delegasi Republik Indonesia untuk PBB itu adalah serangkaian fitnah-fitnah keji sebagaimana dicatat M. Noer El Ibrahimy sebagai berikut:

  1. Bahwa apa yang dinamakan “Republik Islam Indonesia” itu sejak 1949 telah “menjalankan aksi-aksi subversif dan teror” terhadap Peme-rintah Indonesia yang sah.
  2. Bahwa Partai Islam Masyumi telah menjatuhkan hukuman atas golongan Darul Islam seperti dikemukakan beberapa waktu yang lalu.
  3. Bahwa wujud sebenarnya gerakan Darul Islam itu adalah sukar ditentukan, karena sudah diinfiltrasi oleh asing dan petualangan
  4. Bahwa wujud sebenarnya gerakan Darul Islam telah mendapat kekuatan baru di dalam pem-berontakan di Aceh, tempat Hasan Muhammad Tiro pernah tinggal.
  5. Tuduhan-tuduhan terhadap Republik Indonesia itu tidak beralasan dan fantastis serta didasarkan atas berita-berita pers yang tidak dibuktikan, yang merupakan desas-desus belaka.
  6. Bahwa tampaknya Hasan Muhammad Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia
  7. Bahwa tampaknya Hasan Muhammad Tiro, karena “Republik Islam Indonesia” tidak mem-punyai status di dalam organisasi PBB.
  8. Bahwa pemerintah Indonesia mampu mengen-dalikan “pemberontakan-pemberontakan” di dalam wilayahnya dan berniat teguh untuk mempertahankan dan menjamin hak,termasuk juga hak-hak manusia, akan tetapi tidak menge-cualikan hak-hak nasional rakyatnya di dalam rangka Piagam PBB.
  9. Bahwa tiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya akan merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.

Hasan Muhammad Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (Self-determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan. Umat Islam adalah umat yang sendiri dalam kesunyian dirinya (tahanut nafsi). Umat yang seakan-akan tidak dipandang sebagai “manusia” oleh orang-orang lain, apalagi yang non-muslim. Seakan-akan, untuk menjadi manusia, seseorang harus lebih dahulu menanggalkan keislamannya.

Di lain pihak, tindakan tidak dewasa Pemerintah Republik Indonesia menarik paspor Hasan Muhammad Tiro supaya ia diusir dari Amerika Serikat pun tidak berasil. Ternyata orang-orang Amerika, yang otak hatinya lebih bersih ketim- bang pimpinan nasionalis sekuler seperti Ali Sostroamidjojo lebih menganggap umat Islam sebagai manusia. Oleh karenanya dengan bantuan beberapa orang Senator, Hasan Muhammad Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Orang kafir sendiri masih memandang dan menghargai seorang pejuang Muslim ketimbang pemimpin elit nasional kita. Artinya, elit kepemim-pinan nasional Orde Lama Soekarno lebih buruk citranya dibandingkan kafir sekalipun. (bersambung)

Tidak ada komentar: