Jumat, Januari 06, 2012

“Sepucuk Surat Untuk Aceh”





Di tengah kemajuan teknologi ‘dunia maya’ saat ini, tak ada lagi kejadian di muka Bumi yang dapat ditutupi. Apa yang terjadi di ujung dunia belahan barat, dalam waktu bersamaan dapat diketahui di belahan dunia bagian timur. Setiap peristiwa yang terjadi di kutup utara, dalam detik yang sama dapat diakses di ujung dunia belahan selatan.

Begitu juga apa yang terjadi di Aceh hari ini, tanpa selang waktu segera tersiar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke “negeri tak bertahta” yang kebetulan masih punya hubungan emosional historis dengan Aceh. Sejak pergolakan Aceh puluhan tahun silam, yang kemudian disusul bencana tsunami hingga terjadinya perjanjian damai RI-GAM, apa yang terjadi di Aceh tak luput dari pantauan kami di “negeri tak bertahta”, yang selalu mengundang keprihatinan kami.

Sungguh, karena keprihatinan itu, kami memberanikan diri mengirimkan sepucuk surat persahabatan untuk Aceh, yang isinya saling mengingatkan bagaimana kita harus membangun sebuah negeri yang disenangi rakyat. Surat ini sebenarnya bukan surat pertama kami kirimkan untuk Aceh. Jauh sebelum tsunami-di saat Aceh sedang hebat-hebatnya bergolak-kami juga sudah pernah beberapa kali mengirimkan surat keprihatinan yang sama terhadap nasib dan masa depan Aceh ketika itu.

Surat yang kami kirimkan kali ini juga sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri urusan dalam negeri Aceh. Kami sangat menghormati segala aturan hukum dan kebijakan yang berlaku dalam pemerintahan Aceh. Lebih-lebih setelah lahirnya UUPA Nomor 11 Tahun 2006, yang dengan Undang-Undang itu sebenarnya Aceh telah diberi kewenangan lebih dari “setengah federal” untuk membangun jati dirinya kembali.

Karena itu, surat ini hendaknya janganlah diterjemahkan memiliki misi tertentu. Tujuan kami hanya semata-mata sebagai hubungan diplomasi antara “negeri tak bertahta” dengan Aceh beserta seluruh rakyatnya, yang sebentar lagi akan memilih pemimpin yang baru. Meskipun kasak-kusuk menjelang Pemilukada di Aceh secara etika politik kadang kurang menyenangkan, namun kami pahami sebagai sesuatu yang lumrah dalam dunia perpolitikan yang jarang mengindahkan moral dan etika.

Apa yang terjadi di Aceh akhir-akhir ini, terutama ketidakharmonisan legislatif-eksekutif, telah menjadi perbincangan hangat di “negeri tak bertahta”. Koran-koran di negeri kami-saking besarnya perhatian terhadap Aceh-hampir saban hari melansir berita bahwa bunga damai yang sedang mekar di Aceh mulai menebar wangi tidak sedap.

Editorial Harian Maya, -sebuah Harian nasional paling maju di “negeri tak bertahta”, edisi 17 Agustus 2011, menulis, jika Aceh terus berseteru sesama dirinya hanya karena berbeda kepentingan politik, maka taruhannya adalah rakyat Aceh akan selalu menjadi tumbal kepentingan politik elite, dan ini akan sangat riskan bagi kelangsungan perdamaian Aceh, sekaligus besar kemungkinan Aceh harus menanggung kerugian sejarahnya yang kesekian kali.

Dalam kondisi ketidakstabilan perpolitikan Aceh saat ini, rakyat Aceh mestinya harus lebih berhati-hati. Karena, dalam sebuah perseteruan politik di mana pun di dunia, pasti akan muncul “bandit-bandit sosial” yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Belum lagi orang yang akan bertepuk tangan dalam menonton sebuah “perseteruan kebodohan” yang terjadi di Aceh.

Hendaknya, menurut kami, perseteruan politik yang terjadi di Aceh tidak sampai ada orang lain yang mengatakan: Biarkan Aceh berkelahi sesama dirinya sendiri. Kalau kalimat itu sudah diucapkan orang, mungkin Aceh harus siap-siap kembali menanggung segala konsekuensi situasi ketidaknyamanan yang mengundang pihak lain untuk menanganinya.

Itu sebabnya, kami di “negeri tak bertahta” merasa sangat tidak rela kalau Aceh harus kembali menanggung rasa ketidaknyamanan bagi rakyatnya, hanya karena berbeda kepentingan para elite. Pengalaman selama 30 tahun silam, mestinya menyadarkan Aceh untuk tidak lagi terjebak dalam sejarah kelam yang mengerikan. Memang, tiap perjuangan mesti ada pengorbanan. Tapi, tidak selamanya untuk melahirkan sebuah undang-undang harus dibayar dengan ribuan nyawa lebih dahulu. Ini yang mesti dipahami rakyat Aceh, agar tidak kembali terjebak dalam sejarah kelam.

Dulu, ketika Aceh terombang-ambing di laut lepas semuanya sapue pakat, tapi setelah sampai ke darat kini sudah lain ceritanya. Seperti kata orang, “Kalau sudah ada rakit bak pisang (pohon pisang), buat apalagi pohon rangkileh, bila sudah sampai di seberang kupue teuh lom raket pale (buat apa lagi rakit brengsek itu).” Karakter tidak menghargai jasa orang lain inilah sebenarnya yang harus didiskusikan ulang oleh semua komponen rakyat Aceh untuk menemukan siapa yang dirugikan dan diuntungkan dalam mengisi damai sekarang ini.

Mencermati keadaan itu, maka sekali lagi, melalui surat ini, dengan tidak bermaksud mencampuri urusan dalam negeri Aceh, kalau boleh kami menyarankan pada segenap komponen rakyat Aceh, mulai dari pejabat pemerintahan (eksekutif-legislatif), mahasiswa, seniman, budayawan, akademisi, petani, nelayan, hingga tukang becak dan buruh harian, atau apa pun profesinya, hendaklah bersatu padu membangun kembali jati diri keacehannya kalau rakyat Aceh ingin kembali membangun masa depan yang lebih baik. 

Dalam hal ini, sudah tentu di Aceh tak ada lagi kesan adanya warga Aceh yang mengganggap dirinya “warga Aceh nomor satu”, yang menempatkan warga Aceh lain sebagai warga “nomor dua”. Semua rakyat Aceh sama bertanggung jawab terhadap pembangunan masa depan Aceh sesuai kapasitas dan profesinya masing-masing untuk membangun kesejahteraan bersama.

Di negeri kami yang tak bertahta, tak pernah ada warga yang arogan, merasa paling benar dibandingkan yang lain. Karena dasar undang-undang negeri kami adalah “satu jiwa dan satu rasa”. Jadi, begitu kokoh dan bersatu padunya kebersamaan yang kami bangun, sehingga tak ada di antara warga negeri yang merasa direndahkan. Karena dasar itu pula kami dapat membangun negeri kami menjadi negeri yang makmur, aman, dan tertib.

Menariknya lagi, meskipun di negeri kami tidak berlaku Syariat Islam, namun rakyat sangat patuh menjalankan ajaran agama. Kepatuhan rakyat kami terhadap ajaran agama tidak hanya dalam perkataan, tapi tercermin dalam segala tindakan perbuatan, sikap dan perilaku, baik secara individual maupun secara sosial kolektif. Kesalehan individu dengan kesalehan sosial adalah mata rantai yang tak dapat dipisahkan dalam membangun sebuah negeri yang jujur dan amanah. Sehingga kasus-kasus penyelewengan harta negara, apalagi korupsi di negeri kami hampir tidak pernah terjadi. Malah tidak ada pejabat negara, politisi, profesor, dan pengurus Partai Politik di negeri kami yang berstatus tersangka.

Rakyat Aceh boleh tidak percaya terhadap semua cerita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang telah berhasil kami bangun di “negeri tak bertahta”. Karenanya, wakil rakyat Aceh bila ada kesempatan sekali waktu berstudi-bandinglah ke negeri kami untuk melihat bagaimana kami membangun negeri untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. 

Kami dengan senang hati menunggu kedatangan Wakil Rakyat Aceh untuk bersilaturahmi-menyambung kembali hubungan sejarah antara Aceh dengan “negeri tak bertahta” yang barang kali selama ini sudah terputus, setelah pernah terjalin mesra beberapa abad yang silam. Kami yakin, bila Aceh berstudi banding ke negeri kami, banyak hal yang dapat dipelajari dalam membangun Aceh ke depan. Terlebih dalam keadaan Aceh yang ingin memilih pemimpin barunya saat ini. 

Kami melihat, Aceh sekarang-paling tidak lima tahun ke depan-butuh seorang pemimpin yang cerdas dan tegas yang memiliki daya pikir intelektual yang tinggi, mampu menggerakkan pembangunan Aceh tidak dalam bentuk kepentingan kelompok yang sifatnya hanya untuk kepentingan sesaat sesuai selera pemimpin yang berkuasa. Sosok pemimpin yang dibutuhkan Aceh saat ini-meski sulit dicari penggantinya-adalah seperti figur almarhum Prof Ibrahim Hasan yang hingga kini masih sulit dilupakan masyarakat Aceh karena keberhasilannya hampir dalam semua lini pembangunan di era 1980-an hingga awal 1990-an.

Oleh sebab itu, di penghujung surat ini, kami berharap rencana pemilihan gubernur baru dan 17 bupati/walikota di Aceh akhir tahun ini-meskipun secara politis masih terjadi tarik-ulur—hendaknya dapat segera diakhiri dakwa-dakwi. Sehingga Pemilukada di Aceh dapat berlangsung secara damai dan demokratis. Lagi pula, menurut kami, tak ada guna Aceh berseteru sesama orang Aceh sendiri, bila perseteruan itu akan saling memperlihatkan “kebodohan” yang membuat orang lain tertawa senang.


***
* Oleh Nab Bahany As Penulis budayawan, tinggal di Banda Aceh

Tidak ada komentar: