Jumat, Januari 06, 2012

"Pinto Aceh”, Sang Primadona Perhiasan


" Pinto Aceh diciptakan pada tahun 1935, Perhiasan yang satu ini akhirnya menjadi populer di seluruh Nusantara dan Malaysia, Sampai zaman sekarang ini setiap orang luar Aceh yang berkunjung ke negeri ini hampir dapat dipastikan akan membawa pulang salah satu perhiasan yang bermotif Pinto Aceh."

Oleh Harun Keuchik Leumik (*

Perhiasan ini diberi nama Pinto Aceh (Pintu Aceh) terdapat diantara lebih 250 jenis perhiasan tradisional Aceh, namun kehadirannya dalam kelompok perhiasan tradisional sampai tahun 1998 lebih kurang baru 63 tahun jika dibandingkan dengan jenis lainnya sepanjang 2 abad.

Pinto Aceh diciptakan pada tahun 1935, ternyata cepat populer dan telah menarik banyak wanita penggemar perhiasan tradisional, balk wanita Aceh maupun orang-orang di luar Aceh. Sampai zaman sekarang ini setiap orang luar Aceh yang berkunjung ke negeri ini hampir dapat dipastikan akan membawa pulang salah satu perhiasan yang bermotif Pinto Aceh.

Perhiasan yang satu ini akhirnya menjadi populer di seluruh Nusantara dan Malaysia, bahkan tercatat juga pelancong Barat punya minat untuk perhiasan yang satu ini yang lebih dari 60 tahun terus diproduksi. Sementara ada beberapa perhiasan tradisional Aceh memang tidak mampu lagi dibuat pada masa sekarang ini karena kemahiran membuatnya tidak bergenerasi penerus. Sehingga jenis-jenis perhiasan yang tak mampu dibuat sekarang ini menjadi sangat langka dan hanya bisa dilihat di museum ataupun pada kolektor-kolektor ataupun berada secara turun temurun pada orang-orang tertentu yang menyimpannya sebagai pusaka

Utoh Mud dan Cut Nu

Walau keberadaan Pinto Aceh dalam kelompok perhiasan tradisional sejarahnya masih muda (60 tahun). namun benda-benda perhiasan bermotif Pinto Aceh telah mendapat kedudukan yang pantas dalam kelompok perhiasan tradisional Aceh yang telah berusia ratusan tahun.

Mulanya motif Pinto Aceh hanya terdapat pada jenis bros untuk perhiarsan dada si pemakai. Namun ternyata motif Pinto Aceh telah berkembang ke beberapa jenis perhiasan lainnya seperti tusuk sanggul, gelang, subang, cincin ataupun untuk peniti kebaya. Bahkan motif ini juga mendapat jatah untuk perhiasan kaum pria karena diciptakan juga jepitan emas untuk dasi yang bermotif Pinto Aceh.

Setifikat Para Pengrajin Pinto Aceh 1926
[Gambar di atas adalah Sertifikat yang diperoleh perajin perhiasan yang menciptakan motif “pinto Aceh”, Mahmoed Ibrahim desa Blang Oi. Diberikan oleh Panitia Pasar Malam, Koetaradja tahun 1926.]

Perhiasan yang bermotif Pinto Areh diambil desainnya dari sebuah monumen peninggalan Sultan Iskandar muda yang bernama Pinto Khop. Monumen tersebut yang sekarang di sekitarnya dijadikan taman rekreasi, terletak di tepi sungai (krueng) Daroy, konon dulunya sebagai pintu belakang istana Keraton Aceh khusus untuk keluar masuknya permaisuri Sultan Iskandarmuda beserta dayang-dayangnya kalau sang permaisuri menuju ke tepian sungai untuk mandi. Sekarang ini taman tersebut diberi nama Tanian Putroe Phang (Taman Putri Pahang), nama sang permaisuri. Dari desain gerbang kecil Pintu Khob itulah diambil motif untuk perhiasan yang bernama Pinto Aceh ini.

Munculnya perhiasan motif PintoAceh ini ketika tahun 1926 pemerintah Belanda di Kutaraja (Banda Aceh) menyelenggarakan Satteling (Pasar Malam) yang terbesar, digelarkan di Esplanade (Lapangan Blang Padang). Pada Pasar Malam tersebut diberi kesempatan kepada para perajin emas dan perak untuk membuka stand, untuk memperlihatkan dan memamerkan kebolehan serta karya-karya keterampilan tangan mereka.

Sesudah usai Pasar Malam, salah seorang perajin mendapat sertifikat. Namanya Mahmud Ibrahim penduduk Blang Oi. Karena Mahmud dikenal sebagai pandai emas dan perak maka dia diberi gelar oieh masyarakat sebagai Utoh dan sehari-harinva Mahmud Ibrahim dipanggil dengan Utoh Mud.

Ternyata Utoh Mud ketika masa-masa itu dikenal juga oleh para petinggi, orang-orang penting. Belanda serta keluarga mereka karena sering memesan atau membeli berbagai jenis perhiasan tradisional Aceh di pusat usaha perajinnya di sebuah bangunan yang sekarang ini bernama Jalan Bakongan dan bangunan itu sekarang pun telah dibongkar.

ImageUtoh Mud yang mengantongi sertifikat bergengsi atas keterarnpilannya itu pada tahun 1935 menguji kreatifitasnya selaku utoh terkenal dengan menciptakan perhiasan baru Pinto Aceh yang motifnya diambil dari bangunan Pinto Khob, gerbang kecil tempat permaisuri Sultan Iskandarmuda keluar masuk ke tepian mandi, di abad-abad lampau.

Ketika itu Utoh Mud membuat satu jenis perhiasan saja berupa perhiasan dada wanita yaitu bros. Sebelumnya jenis bros memang telah ada dalam jajaran perhiasan tradisional Aceh, namun dengan mengambil motif lain. Bros Pinto Aceh dengan meniru pintu gerbang yang bernama Pinto Khob tersebut berbentuk ramping dengan jeruji-jeruji yang dihiasi motif kembang ditambah lagi sebagai pelengkap dengan rumbai-rumbai sepanjang kedua sisi.

Sampai sekarang ini bahan baku perhiasan Pinto Aceh adalah emas berkadar 18 sampai 22 karat. Kalau dibuat dengan bahan emas murni (emas kertas) perhiasan ini mudah berlipat-lipat, baik ketika membuatnya ataupun ketika memakainya karena tidak bercampur dengan jenis logam lain.

Ternyata tidak sembarang perajin mampu melanjutkan pembuatan perhiasan Pinto Aceh. Setelah Utoh Mud meninggal dunia dalam usia 80 tahun, keterampilan khusus pembuatan perhiasan Pinto Aceh dilanjutkan oleh muridnya yang bernama M. Nur (Cut Nu) yang juga penduduk Blang Oi. Sampal akhir hayatnya tahun 1985 dalam usia 80 tahun. Cut Nu bekerja di toko mas milik H. Keuchik Leumiek yang membina kelanjutan seni membuat Pinto Aceh.

Setelah Cut Nu meninggal dunia, keterampilan ini dilanjutkan oleh seorang perajin yang bernama Keuchik Muhammad Saman.

Keterampilan pembuatan perhiasan motif Pinto Aceh yang semakin populer ini, yang paling berorientasi ke arah itu adalah seperti yang kita singgung di atas yaitu Haji Keuchik Leumiek penduduk Lamseupeueng Banda Aceh, pernilik toko mas yang dikenal sampai ke luar Aceh semenjak tahun-tahun 1950-an, berlokasi di Jalan Perdagangan Banda Aceh (sekarang Jalan Tgk. Chik Pante Kulu) dan sampai kepada anaknya yang melanjutkan pembinaan ini.

Karyawan dan murid Mahmud Ibrahim (Utoh Mud) berfoto di depan usaha perajin emas miliknya yang  diberi merek “M. Ibrahim & Co” sekitar tahun 1930-an. Usaha ini terletak di Jl. Bakongan (sekarang Jl. T. Cut Ali) kawasan Kampung Baru Banda Aceh.

Tidak sembarang orang seperti disinggung tadi yang mampu membuat perhiasan motif Pinto Aceh. Perhiasan yang satu ini lebih banyak menuntut kesabaran, ketekunan agar memperoleh kualitas yang standar.

Pada motif Pinto Aceh yang memiliki banyak rumbai-rumbai benang emas yang perlu dijalin dengan tangan. Ini adalah kerja yang paling rumit. Untuk mengambil jalan pintas ada tukang yang berbuat gegabah asal jadi. Kalau dilihat sepintas hasil buatan yang telaten dan asal jadi memang semirip. Kalau diteliti secara seksama maka dapat dilihat mana Pinto Aceh yang berkualitas baik dan mana yang dibuat Secara kurang cermat.

Pada toko-toko emas tertentu kita akan diberi penjelasan dan seandainya kita terlanjur membeli Pinto Aceh yang bermutu rendah, sudah tentu harganya akan jatuh kalau dijual kembali.

Pada toko-toko penjual perhiasan tertentu di Banda Aceh. sudah tentu kita akan mendapatkan Pinto Aceh yang diolah oleh jemari para perajin yang tekun dan sabar.

Motif Pintu Aceh akhirnya berkembang pesat, sampai pada masa sekarang ini cukup mampu diproduksi oleh para perajin. Pertama kemunculan motif ini sekitar tahun 1930-an hanya berfungsi sebagai pelengkap rantai perhiasan di leher yang digantungkan sebagai liontin (mainan).

Namun sekarang ini setelah melalui masa 60 tahun, Pintu Aceh dikembangkan di samping sebagai liontin perhiasan rantai leher, juga diciptakan untuk :
  1. Cincin (Euncin Pinto Aceh). Benda motif Pintu Aceh ini ditempelkan pada sebuah ring (lingkaran cincin) sebagai perhiasan jari manis.
  2. Subang, yang disebut Subang Pinto Aceh. Hanya kelebihannya dengan yang lain adalah, pada ujungnya diberi rumbai-rumbai tambahan agar lebih gemerlap jika ditempatkan pada telinga.
  3. Gelang disusun setidaknya 5 buah Pinto Aceh ukuran mini. Kelima motif ini dihubungkan dengan jalinan rantai yang pertemuan di kedua ujungnya kalau sudah dipakai pada tangan pada pengikat yang diberi kunci (sekrup) dan dipertemuan kedua ujungnya dikaitkan rantai kecil dengan sebuah lempengan berbentuk hati.


***

[H. Harun Keuchik Leumik, Perhiasan Tradisional Aceh, artcraftindonesia]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jejak historis sangat bernas, trimong gaseh Tgk