Selasa, Maret 06, 2012

MENGUAK TRAGEDI BEUTONG ATEUH

Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto serendah-rendahnya.

Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.



Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.

Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.

Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”

Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.

Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.

Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.

Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.

Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.

Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.

Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen di tahun 2002.

Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.



Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.

Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.

Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.

“Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,” tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih di Beutong Ateuh”.

Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.

Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.

Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka: Jenderal Suharto.

Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh.

Tidak ada komentar: