Ini Kisah Nyata...
Sebuah desa bernama Bantayan menjadi saksi sebuah peristiwa sejarah yang di alami Amiruddin, peristiwa itu hampir merenggut nyawanya hanya karena ia memperjuangkan kemerdekaan Aceh di bawah bendera GAM.
Bantayan tempat persembunyiaan Amiruddin selama beberapa tahun, namun naas tempat itu tercium oleh aparat TNI sebagai tempat pelarian para kombatan, tepatnya Jumat 13 April 2003 bantayan berkecamuk. Desingan peluru membahana seluruh pelosok desa bantayan.
Amiruddin yang saat itu sedang berada di sebuah Mushalla, bergegas mencari perlindungan, Amiruddin adalah panglima wilayah setempat sudah pasti dia orang pertama yang dicari para TNI.
Bersama seorang pengawal Amiruddin berlari sejauh 1 km, namun karena tempat itu sudah di kepung aparat, maka sejauh apapun Amiruddin berlari tetap tertangkap jua, dan itu pun terjadi, Amiruddin di cerca pertanyaan agar mengaku sebagai anggota GAM.
“Apa benar kau orang GAM” kata salah seorang Aparat dengan tatapan tajam.
Amiruddin berusaha menutupi identitasnya, dengan suara agak keras ia hanya berucap “Astaufirullah hal adzim”. Aparat yang tak puas dengan jawaban Amiruddin menghadiahkan gagang senjata ke arah kepala Amiruddin, darahpun keluar dari dahi Amiruddin.
Amiruddin hanya bisa pasrah, Kemudian aparat itu bersama kawan-kawannya menghajar Amiruddin tanpa ampun, sudah pasti Amiruddin babak belur dengan wajah memar dan tulang-tulang yang agak susah digerakkan.
Sedang pengawal Amiruddin yang bernama Rusdi, kedua telapak tangannya bolong bercucuran darah setelah di tembak aparat karena diduga Rusdi ingin mengeluarkan pistol dari sakunya, padahal tak ada senjata apapun yang melekat di tubuh Rusdi.
Amiruddin dan Rusdi sudah menyerahkan hidupnya kepada Ilahi bila hari itu malaikat maut menjemput mereka, namun beruntung aparat TNI tidak bisa membuktikan kalau keduanya adalah orang GAM.
Setelah kenyang menghajar Rusdi, Aparat TNI menelantarkannya, sedang Amiruddin dipaksakan memasang dua sandal di tanganya dengan maksud Amiruddin di suruh merayap di aspal sejauh Aparat TNI berjalan, Amiruddin mengikuti kemauan Aparat dan merayap dengan perlahan sejauh 1 km.
Sampai di sebuah persimpangan TNI meninggalkan Amiruddin dengan keadaan yang sangat lemah dan tubuh di berlumuran darah, di tambah wajahnya yang memar penuh luka-luka, hingga hampir tidak di kenali lagi.
Untung seorang kakek yang kebetulan lewat, lalu memapah Amiruddin hingga sampai di rumah kakek tersebut, lalu kakek yang kebetulan termasuk saudara Amiruddin itu sendiri memanggil seorang dokter agar bisa mengobati amiruddin.
Itulah salah satu peristiwa yang tak mungkin mudah di lupakan Amiruddin, mempertahankan sebuah kemerdekaan tentu tidaklah mudah, bahkan satu-satunya nyawa harus di pertaruhkan, belum lagi keadaan keluarga yang ditinggalkan selama persembunyian.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu tepatnya tanggal 15 Agustus 2005, Pemerintah RI dan GAM menyepakati perdamaian di Finlandia, Helsinki. Tak hanya Amiruddin, seluruh masyarakat Aceh juga ikut senang, karena tak ada lagi ketakutan dan pertikaian dalam menjalani hidup.
Kesepakatan damai tersebut, tentu membawa berkah bagi mantan GAM. Namun seperti di ketahui, keberkahan itu hanyalah di rasakan oleh para kombatan berpangkat besar dan punya hubungan khusus dengan pemerintah.
Amiruddin sendiri juga tidak bisa menikmati keberkahan itu, hidupnya bahkan biasa-biasa saja dan sama saat membela kemerdekaan Aceh, seharusnya Amiruddin mendapat apreasi atas pengorbanannya, tapi atas beberapa kuasa yang tak sesuai janji maka Amiruddin tak mempermasalahkannya. Yang penting Amiruddin turut bahagia karena telah berjuang mendapatkan kebebasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar